Rss Feed
  1. Sore tadi saya mengikuti kuliah di Asrama Mahasiswa UAD. Kuliah pengganti. Perkuliahan selesai ketika waktu maghrib masuk. Setelah shalat Maghrib hujan turun deras. Saya memutuskan untuk berteduh sejenak. Setelah hujan agak reda saya memutuskan untuk pulang.

    Sekian menit berjalan, saya sampai di pertigaan di sebelah selatan Kampus 2 UAD. Pertigaan yang salah satu jalannya mengarah ke pasar Kota Gede. Waktu itu hujan masih rintik. Saya melihat seorang anak perempuan berambut sebahu sedang meminta uang kepada pengendara jalan didekat lampu merah. Pemandangan semacam itu lazim ditemui di kota ini. Umur anak itu sekitar 11 atau 12 tahun. Anak yang seharusnya (dalam ideal kita) sedang berada di rumah, bercengkrama dengan saudara-saudaranya atau sedang mengerjakan tugas rumah dari guru-gurunya. Tapi saya pun tidak tahu apakah dia bersekolah atau tidak.

    Dia mengulurkan tangan kanannya ke setiap pengendara sepeda motor ataupun mobil yang ia temui di sekitar lampu merah tersebut. tidak ada satu orang pun yang memberi. Beberapa saat kemudian seorang laki-laki dengan mengendarai sepeda berhenti di dekat lampu merah. Pikiran pertama saya, dia berhenti karena lampu sedang merah. Laki-laki itu, yang berumur sekitar 30 tahunan, melirik ke arah gadis kecil ini. Dia sepertinya hendak merogoh sesuatu dari saku bajunya. Tapi ia mengurungkan niatnya, karena gadis itu tidak menoleh ke dirinya. Dilihat dari gelagat wajahnya, saya kira dia ingin memberikan sesuatu kepada gadis tersebut.

    Sepertinya si gadis kecil melihat tindakan laki-laki tadi. Ia dekati lelaki dengan sepeda itu. Dan benar, si lelaki mengeluarkan uang dari saku bajunya. Uang kertas. Tidak mungkin uang itu adalah uang 500 rupiah, apalagi 200 atau 100 rupiah. Saya tidak dapat memastikan uang berapa ia berikan. Pastinya, uang itu minimal bernominal 1000 rupiah.

    Setelah memberikan uang itu si lelaki lansung pergi menerobos lampu merah. Ternyata dia hanya berhenti untuk memberikan uang kepada gadis kecil tadi. Mengetahui itu, saya tersentak. Entah bagaimana, saya merasa malu. Sampai detik ini saya bahkan tidak tahu, kenapa pada waktu itu saya merasa malu.

    (salah satu hal yang aku suka dari berjalan kaki, menemukan sesuatu yang seringkali tidak diperhatikan oleh banyak orang,,, J)

  2. Pada Sebuah Hujan

    Tuesday, May 21, 2013



    titik-titik air berbaris
    menjadi rangkaian not balok di atas lembar notasi

    mulanya jengah, lalu bergerak mengikuti irama.
    hujan turun seperti tarian para pecinta

    debu-debu basah menempel di kaki celana
    dan kait terkoyak di tepi telaga
    tapi kunang-kunang bercahaya

    ada tetes yang lebih bening di genangan jalan
    tangisan pohon saat keangkuhan luruh dari dedaunan
    karangan bunga mekar dan berakar
    menjalar dari nadi hingga ke atap, pintu, dan jendela

    di depan – tubuh kuyup meratapi ruh mabuk di dalam
    tamu hening menyusup, membimbingkan kredo baru

  3. Temanku satu ini benar-benar beruntung. Dia laki-laki miskin tapi ganteng. Urakan, and some people call him childish. aku sudah mengenal dia sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu, namun aku tidak pernah menyangka kalau kami akan dekat saat ini. Beberapa waktu lalu dia bercerita panjang kepadaku. Sebuah kisah asmara yang sering kutemukan di dalam novel, tapi baru kali ini aku temukan di dunia nyata. Satu laki-laki yang “dicintai” oleh 3 orang perempuan, tapi tidak ada satu pun yang beruntung sampai detik ini. Penyebabnya adalah perbedaan status.