Rss Feed
  1. Terkait karya ilmiah, ada beberapa hal mengganggu pikiran saya selama bertahun-tahun. Salah satunya, penyebutan nama dalam kutipan dan penulisannya di daftar pustaka. Setelah mengetahui, bila kutipan berasal dari tulisan orang bernama Jepang, Cina, dan yang serumpun dengannya, nama pertama yang disebutkan. Mengingat nama terakhirlah yang disebutkan jika mengutip karya penulis Eropa dan Amerika, termasuk Indonesia, metode pengutipan tersebut harusnya bukan tanpa alasan.



    Contoh pengutipan nama

    Nama saya Bayu Satria. Dulu pernah menulis skripsi berjudul “Relasi Patriarkal di dalam Novel Yauma Qutila az-Za’im Karya Najib Mahfuzh”. Skripsi ditulis tahun 2014 ke Fakultas Tarbiyah dan Dirasat Islamiyah Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Tergantung dari metode pengutipannya, urutan penulisan informasi mengenai rujukan di dalam daftar pustaka bisa jadi berbeda, salah satunya seperti di bawah ini:

    Satria, Bayu. 2014. Relasi Patriarkal di dalam Novel Yauma Qutila az-Za’im Karya Najib Mahfuzh, skripsi diajukan ke Fakultas Tarbiyah dan Dirasat Islamiyah UAD Yogyakarta.

    Sekarang saya ambil contoh dari penulis luar:

    Penerbit Narasi di Yogyakarta menerjemahkan sebuah karya Jean-Paul Sartre dengan judul Psikologi Imajinasi di tahun 2016. Penerjemahnya bernama Silvester G. Sukur. Informasi dalam daftar pustaka bisa menjadi begini,

    Sartre, Jean-Paul. 2014. Psikologi Imajinasi (diterjemahkan oleh Silvester G. Sukur). Yogyakarta: Narasi.

    Informasi di dalam daftar pustaka tersebut berhubungan dengan penyebutan nama di dalam badan tulisan. Bila orang mengutip karya saya, ia akan menyebut “Satria”, demikian juga bila ia mengutip dari Psikologi Imajinasi, ia menyebut “Sartre”. Pembalikan nama akan mempermudah penelusuran di daftar pustaka sesuai nama belakang yang disebutkan di badan tulisan. Sekilas tidak ada yang berbeda, namun tidak bila diselidiki lebih lanjut.

    Seperti sudah disebutkan, penyebutan nama Jepang, China, Korea, dan yang serumpun dengannya menggunakan nama depan/pertama. Misalnya, kita mengutip dari seseorang bernama “Choi Il Sook” (nama ini bisa juga menjadi Il Sook Choi setelah di romanisasi), maka kita perlu menyebutkan nama “Choi”. Baik “Sartre” maupun “Choi” punya kesamaan yang tidak dimiliki oleh “Satria”: keduanya sama-sama nama keluarga. Satria adalah nama melekat pada Bayu sebagai nama lahir, tidak ada jejak keluarga di sana. Penyebutan nama keluarga biasa digunakan dalam situasi formal, menunjukkan penghormatan dan kesopanan.

    Sebuah ilustrasi tradisi kesopanan di Indonesia dengan memanggil nama keluarga

    Nama saya ‘Bayu Satria’. Satria bukan nama keluarga saya. Tidak akan ada penghormatan atau kesopanan dengan menyebut nama ‘Satria’. Justru menjadikannya asing, sebab masyarakat tidak mengenal saya sebagai ‘Satria’.

    Saya terlahir dari bapak bersuku Batak. Sesuai konsep patrilineal, saya mestinya mewarisi marga. Di akhir nama saya pernah diselipkan nama ‘Batubara’, marga bapak saya. Karena alasan tertentu marga itu dihapus dari KTP. Dalam tradisi Batak, seseorang biasanya hanya dikenal dari marganya, terutama bila dia sudah menikah. Bapak saya bernama Irwan, namun semua orang memanggilnya ‘Batu’ atau ‘Pak Batu’ (batu singkatan dari Batubara). Demikian pula dengan orang-orang bermarga lainnya, seperti Hasibuan, Nainggolan, Torus, Simatupang, Pasaribu, Tobing, Nasution, Dalimunte; atau seperti Chaniago dan Tanjung di Minangkabau. Sampai seorang Batak meninggal, bisa jadi kenalannya tidak akan tahu nama aslinya, sebab ia selalu dipanggil sesuai nama marganya.

    Saya tidak tahu apakah yang demikian tersebut ada di Jawa atau suku-suku lainnya. Setahu saya, tidak pernah ada cara pemanggilan seperti dalam tradisi Batak di atas dalam tradisi Jawa.

    Sepaham saya, tradisi penyebutan nama di Eropa-Amerika, Jepang-Cina-dan saudaranya, termasuk Arab, serupa dengan cara penyebutan nama dalam tradisi Batak. Katakanlah seseorang bernama Sherlock Holmes, maka panggilan hormatnya adalah Holmes. Bila ia Jepang atau Cina, katakanlah ia bernama Matsuda Ryuhei, panggilan hormatnya adalah Matsuda-san. Dalam nama Arab, saya pernah diberitahu seorang dosen asal Mesir, penamaan seorang anak melibatkan dua generasi di atasnya, bapak dan kakek. Katakanlah nama anaknya Mahmud, ayahnya bernama Taymur, kakeknya bernama Pasha, maka nama lengkap anak tersebut adalah Mahmud Taymur Pasha.

    Dalam sejumlah kasus penamaan, khususnya orang-orang besar pada tradisi bangsa-bangsa yang disebutkan di atas, mungkin dilekatkan juga nama alias atau nama kota. Semisal, al-Khawarizmi bukanlah nama lahirnya, itu adalah nama kota asalnya. Nama lahirnya Muhammad, nama bapaknya Musa, kota asalnya Khwarizm.

    Baik Sherlock Holmes, Matsuda Ryuhei, atau Mahmud Taymur Pasha hanya memiliki nama lahir/individual yang terdiri dari satu kata: Sherlock, Ryuhei, dan Mahmud. Hal demikian tidak terjadi dalam penulisan nama orang Indonesia (kini). Barangkali dulu iya, Bapak saya hanya dinamai Irwan, presiden pertama hanya bernama Soekarno. Sekarang kebanyakan kita diberi nama dua atau tiga kata, tanpa sama sekali melekatkan nama keluarga. Penamaan seperti ini sepanjang pengetahuan saya tidak lazim pada tradisi Eropa-Amerika, China-dan yang serumpun, atau Arab. Ambil contoh penulisan di dalam sebuah artikel mengenai Michel Foucault di wikipedia (lihat bagian ‘Early Life’). Foucault punya nama asli “Paul”, ibunya menambahkan nama “Michel”, sehingga penulis artikel Wikipedia tersebut menuliskan “Paul-Michel Foucault”. Dalam kasus lain, penulisan nama Jean-Paul Sartre. Tambahan garis sambung/hyphen (-) menandakan kedua nama tersebut bukanlah dua entitas terpisah, tapi satu entitas yang tumpang tindih. Hyphen demikian digunakan pada kata majemuk. Jika nama saya juga disesuaikan dengan cara penulisan itu, akan menjadi Bayu-Satria Batubara.

    Ketidakmasukakalan tradisi

    Sebenarnya tidak semua penamaan orang Indonesia sudah melupakan nama keluarga atau marganya, tapi agaknya bukan lagi kelaziman. Aturan-aturan harusnya mempertimbangkan kemasukakalan atau setidaknya kelaziman, apa lagi dalam penulisan karya ilmiah. Dalam kasus Indonesia, saya merasa pembalikan nama di daftar pustaka atau penyebutan nama belakang di badan tulisan tidak masuk akal. Kenapa tidak mengacu pada ‘Bayu’ saja? Atau nama lengkap saya? Namun demikian, bila yang demikian tersebut diterima, karya ilmiah akan kehilangan karakter formalnya (yang sampai batas tertentu tidak saya sukai). Jika demikian, tradisi lain bisa sama tidak bergunanya, seperti menggunakan kata kerja pasif ketika merujuk ke tindakan penulis. Saya juga sebenarnya penentang penggunaan kata kerja pasif dan anonimitas penulis di dalam badan tulisan, tapi setidaknya ini masih lebih masuk akal dibandingkan membalikkan nama atau menyebutkan nama akhir. Bagi saya, menyebutkan nama ‘Satria’ seolah tidak memiliki arti apa-apa, sebab ia bukan nama panggilan saya, “Satria” hanya sekedar nama tertulis di dokumen-dokumen resmi seperti KTP dan Ijazah. "Satria" adalah entitas tak bermakna tanpa adanya "Bayu", meski tidak berlaku hal sebaliknya. 

    Jika tradisi menggunakan nama belakang di badan tulisan mesti dipertahankan, kita perlu cara lain. Jika tidak mungkin melekatkan nama keluarga secara permanen, paling tidak mencantumkan nama ayah atau ibu di belakang nama sendiri ketika membuat sebuah publikasi. Hanya saja ini akan menimbulkan masalah lain, yang bisa-bisa malah berkaitan dengan isu kesetaraan gender.

    Yah, penyebutan nama merupakan bagian dari tradisi penulisan karya ilmiah. Tradisi apapun, ketika semakin jauh waktu penerapannya dari waktu kelahiran tradisi tersebut, sangat mungkin menjadi kosong, tidak bermakna. Sekedar tindakan wajib yang dilakukan berulang-ulang. Dalam beberapa hal, tindakan bisa jadi tidak perlu lagi alasan, sepanjang ia berfungsi dalam konteks tertentu. Terlepas dari ketidaksetujuan saya soal pembalikan nama, cara ini tetaplah fungsional, sepanjang keterkaitannya di dalam karya ilmiah itu sendiri. Ia menjadi tidak bermakna ketika disebutkan secara lisan. Tak apa orang mengutip nama “Satria” sepanjang diperlukan untuk penelusuran di daftar pustaka. Akan tidak berguna bila seseorang mengatakan secara lisan, “di dalam skripsinya, Satria menyebutkan...” sebab saya tidak pernah dikenal dengan nama itu. Saya hanya dikenal dengan nama “Bayu” atau “Bayu Satria”.

    Sedikit Bacaan
    2. Surname, dari Wikipedia 
    3. Urutan penamaan di 'barat' dan 'timur', dari Wikipedia.





  2. Menghapal Iman dan Islam

    Wednesday, January 11, 2017


    Yang wajib dari hati, adalah kata
    Yang wajib dari kata, adalah tanya
    Yang wajib dari tanya, adalah kita
    Yang wajib dari kita, adalah cinta
    (Sisir Tanah, Lagu Wajib)

    Alkisah, seorang Gadis Ahok ditanyai perihal rukun Islam dan rukun Iman. Penanya sepertinya seorang anti Ahok, mungkin seorang alumni 212, mohon dikoreksi bila saya salah. Lelaki yang bertanya itu sedang berjudi, bila pertanyaannya dijawab benar, tidak akan diunggah videonya, kalau pertanyaannya dijawab kurang tepat, dia yakin ini video pasti viral. Keimanannya bisa jadi sedemikian kuat sehingga memenangkan perjudian.

    Gadis yang terlihat cantik dengan seragam kotak-kotak itu rupanya orang yang pernah diperbincangkan sebelumnya di salah satu gerakan mahasiswa muslim yang tidak signifikan – barangkali karena terbebani nama besar ‘bapaknya’ sehingga tidak terlalu bergaung di kancah politik pergerakan nasional-, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Bukan sekedar kader unyu-unyu di tingkat kampus, ia pernah di pimpinan pusat. Pilihannya sebagai Gadis Ahok mengharuskannya keluar dari jajaran pimpinan level tertinggi IMM. Entah apa alasannya menjadi Gadis Ahok, pastinya muslim dan mukmin yang taat tidak akan memahaminya. Sialnya, dia jadi sasaran kekesalan muslim dan mukmin yang taat, sebab katanya banyak non-muslimah pendukung Ahok berhijab untuk meraih simpati umat. Setelah Nusron, Ella – nama gadis jelita itu – kesandung batu.

    Lebih parah, video semacam ini bisa berdampak buruk pada IMM. Bisa jadi bakal dipelintir di GEMA HTI atau KAMMI, menjadi senjata mengkader mahasiswa-mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Ini bukti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tidak benar dalam memahamkan islam kepada anggota-anggotanya. Afwan Ikhwan GEMA HTI dan KAMMI, no offense, sekedar memperkirakan sesuatu berdasarkan pengalaman.

    Saya tidak sempat menonton video terlalu sampai selesai. Terlalu memalukan. Apalagi setelah membaca salah satu komentar di bawah ini.


    Sebagai keluaran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, saya merasa perlu angkat bicara. Membela dan melawan kebodohan dengan kebodohan saya. Jadi mohon maaf bila tulisan ini hanya bodoh-bodohan saja. Bukan pernyataan resmi. Siapalah saya, sekedar sampah yang menolak menjadi buih.

    Anak TK aja Tau Rukun Islam dan Rukun Iman


    Meneruskan bacaan komentar, saya temukan ini,



    Sepanjang ingatan religius saya, menjadi muslim dan mukmin itu sederhana: bersyahadat, lalu hidup mematuhi Firman Allah dan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW. Menghafal rukun iman dan rukun Islam tidak menjadikan seseorang muslim atau mukmin. Tidak hafal juga mungkin tidak akan membatalkan keimanan dan keislamannya.

    Formalisasi aspek-aspek asasi keislaman dan keimanan kiranya ditujukan untuk kebutuhan edukatif, kebutuhan pengajaran. Yang dimaksud formal tersebut adalah apa yang dihapalkan oleh anak-anak muslim di sekolah-sekolah mereka. Rasulullah tidak mewariskan 5 rukun islam dan 6 rukun iman yang terformalkan tersebut, tidak dalam bentuk tekstualnya yang diketahui secara luas saat ini. Lebih sulit menghapal ayat dan hadits berkaitan islam dan iman tinimbang memadatkannya menjadi sebuah daftar. Menyarikan ayat dan hadits ke dalam daftar memudahkan repetisi-repetisi, memudahkannya untuk diingat. 

    Sehingga anak TK pun mampu menghapalnya.  Jangan salahkan kalau ketika dewasa mereka tidak lagi hapal. Bisa jadi buah hati njenengan yang dimodelkan karena bisa menyebutkan rukun islam dan iman akan sama gagap dan diplomatisnya saat ditanyai soal yang sama 15-20 tahun kemudian. Alami. Hapalan terlupakan karena berbagai hal: tidak pernah diulang, tergantikan dengan ingatan yang lebih berguna, atau faktor umur.

    Penelitian menunjukkan otak kita punya kapasitas maksimal. Semacam perilaku terhadap komputer, informasi-informasi tidak berguna dilempar ke recycle bin. Akhirnya kita butuh waktu me-restore-nya kembali. Seperti menumpukkan buku-buku SD di gudang, kita juga memperlakukan hal serupa pada ingatan. Perlu waktu tidak sedikit membongkar gudang, menemukan apa yang dicari.

    Ingatan juga tidak bekerja bebas. Dari waktu ke waktu diakui emosi punya pengaruh terhadap kemampuan memanggil ingatan tertentu. Orang yang tidak pernah berbicara di depan umum sangat mungkin kehilangan sebagian hapalannya ketika ia gugup harus menyampaikan pidato di sebuah majelis. Ketenangan dan sikap rileks membantu otak menelusuri ingatan-ingatan yang diperlukan dan memanggilnya kembali. Bisa saja sang gadis itu dalam kondisi tertekan, ego menguasainya karena pertanyaan kekanak-kanakan, lalu lintas pikiran tiba-tiba menjadi sibuk, ingatan-ingatan yang tidak diperlukan tiba-tiba muncul ke permukaan, ingatan tentang rukun iman dan islam tentang tetap aman tidak tersentuh di gudang ingatan.

    Saya cukup yakin akan berbeda hasilnya bila dilakukan dalam diskusi terbuka, bukannya pertanyaan-pertanyaan tertutup.

    Sampai batas tertentu, kurang tepat rasanya membandingkan anak TK dengan seorang perempuan dewasa. Keduanya memiliki kemampuan berpikir, ruang kosong ingatan, dan fokus pikiran berbeda. Anak-anak dapat menikmati apa yang mereka hapal sekalipun tidak tahu maknanya. Informasi-informasi masih tidak terlalu banyak tersimpan dan masih belum diperlukan dalam rangka hidup mandiri. Orang dewasa akan menyingkirkan ingatan yang tidak diperlukan dalam rangka survivalitasnya. Pada banyak kasus, terlalu banyak informasi masuk ke dalam kepala, menjadi terspesialisasi, sehingga lupa letak kunci rumah, letak dompet, dan sebagainya.

    Perbincangan-perbincangan keseharian, atau bahkan religius, dengan orang-orang di sekitar kita akan menunjukkan hal tersebut. Saya kerap menemukan orang yang mengatakan, ‘kayaknya itu ada di al-Qur’an’, ‘itu hadits nabi’, ‘dulu ustadzku pernah bilang begitu’. Kita tidak punya respons lain selain berusaha memahami, memberi tahu jika bisa. Kita hanya bisa menghela napas, sebab tidak mungkin juga meminta mereka membaca rujukan yang pasti. Kesibukan-kesibukan orang sering membuat mereka cepat melupakan. Sekarang bilang akan dipelajari, tidak lama setelah itu anaknya menangis, dan semuanya tinggal ucapan. Sejujurnya, persoalan-persoalan mendalam dalam islam saja tidak akan mereka pelajari apalagi terus menerus menghapal rukun Islam, rukun iman, atau butir-butir Pancasila. Tidak praktis, tidak membantu kebertahanan hidup.

    Pembuktian keislaman dan keimanan


    Ella mungkin saja memang kurang beriman dan tidak taat beribadah mahdah – seperti shalat lima waktu sehari dan puasa di bulan Ramadhan. Bisa jadi juga seperti kata salah satu komentar, rukun islam dan iman saja tidak hafal, bagaimana dapat beriman dan berislam dengan benar.

    Bisa jadi juga salah.

    Dalam bodoh saya, lebih gampang menilai islam dibandingkan iman. Mengerjakan kelima unsur termaktub di dalamnya menjadikanmu terlihat muslim sepenuhnya. Iman lebih sulit, sebab basisnya iman adalah pengakuan di dalam hati. Hanya iman tidak akan terbuktikan bila sekedar pengakuan dalam hati.

    Berdasarkan bacaan yang dapat dilihat di bagian paling bawah tulisan ini, islam dibuktikan dari pelaksanaannya. Iman juga sama, namun terdengar dalam ucapan juga. Islam dan iman itu tindakan. Sepanjang bacaan saya, setiap unsur rukun islam dan rukun iman yang tertera di hadits atau ayat selalu didahului kata kerja. Otomatis, yang ada adalah berislam dan beriman: bertindak.

    Saya tidak tahu apakah tindakan Ella menjadi Gadis Ahok termasuk mengurangi iman atau tidak, atau bahkan menjadikannya kafir. Tidak tahu, standarnya bisa berbeda-beda. Keimanan membutuhkan hierarki pemikiran tertentu dan penafsiran tertentu terhadap otoritas (al-Qur’an dan hadits) hingga seseorang dapat menemukan indikator-indikator yang menjadikan orang beriman, kurang beriman, atau kafir. Tidak korupsi adalah bentuk keimanan, menerima kenyataan karena ditolak pekerjaan juga bentuk keimanan, tidak menipu saat berjualan juga bagian keimanan, dan lain-lain. Iman ditunjukkan dari sikap-sikap dan tindakan-tindakan, sehingga politik pun bagian dari keimanan. Bagi kelompok yang lebih radikal, mendukung Ahok jelas kurang beriman atau bahkan kafir, tapi tidak bagi kelompok yang lebih moderat atau liberal.

    Yang jelas, video tersebut salah kaprah bila keislaman dan keimanan dapat dibuktikan melalui hapalan rukun iman dan rukun islam. Demikian pula para komentatornya. Lihat kesehariannya, apakah dia shalat lima waktu, baru tentukan dia berislam dengan benar atau tidak. Sedang soal iman, itu soal lain.

    Viralnya video tersebut agaknya lebih ke soal iman, bukan islam. Ya, ini soal iman. Iman politik. Tapi kita mau ikut fatwa politik siapa?

    Berempati di media sosial


    Mungkin Ella lagi berkurang imannya, tapi itu tidak masalah. Bukankah umum disepakati bahwa iman dapat berkurang? Bertambah dan berkurangnya iman itu bagian dari dinamika kehidupan seseorang. Dia bukan satu-satu orang di dunia, di Indonesia, atau di Jakarta yang punya masalah sama.

    Lalu kenapa cuma dia yang di-bully?

    Ella korban politik. Salahnya sendiri mendukung Ahok. Ups, tidak boleh begitu, saya sedang berusaha berempati. Masih banyak orang yang mengaku berislam dan beriman tapi tidak hapal rukun islam dan rukun iman. Orang tua saya mungkin saja tidak hapal rukun islam dan rukun iman. Begitu pula tetangga-tetangga saya. Hidup begitu sibuk dan ketat sehingga tidak ada ruang tetap menjaga hapalan kedua rukun. Tidak semua orang juga pergi ke TK untuk menghapalnya. Para penyair sufistik abad ke-11 mengungkapkan,”Kini tasawuf adalah nama yang tanpa kenyataan, tetapi dulu kenyataan tanpa nama...kepura-puraannya dikenal luas dan pelaksanaannya tidak diketahui”. Ungkapan ini relevan dalam persoalan iman dan islam. Masalahnya adalah menghapal nama dan atau melakukan dalam kenyataan.

    Bagi banyak orang, entah mereka hapal atau tidak, yang jelas kalau adzan maghrib ikut shalat maghrib, kalau masuk bulan Ramadhan ikut puasa, besok lebaran hari ini bayar zakat fitrah, kalau ada uang berangkat haji. Mereka mengakui keberadaan malaikat entah siapa namanya; mengakui al-Qur’an meski kitab itu cuma pajangan ruang tamu; mengakui qadha dan qadar meski kadang mengumpat kalau penghasilan tidak mampu menutupi kebutuhan harian; Meyakini Allah, meyakini Rasulullah, dan meyakini hari akhir meski kadang kalap kalau sudah urusan dunia.

    Banyak orang pula, hapal dengan baik rukun islam dan rukun iman, tapi tidak pernah melakukannya sama sekali.

    Saya tidak hendak membela Ella, tapi menyerang mereka yang gegabah (dalam pikiran orang yang tidak sepakat, sama saja, saya tetap membela Ella). 2016 lalu dianggap tahun berita hoax, tahun ketika para penyebarnya meraup banyak uang, ketika pembacanya menjadi hakim yang maha.

    Kiranya percuma meminta para hater menahan diri dan sejenak berefleksi diri. Jangankan Ella yang cuma pion, orang sekelas Buya Syafi’i saja dibilang bagian tentara setan. Kebanyakan mereka bilang mereka sedang membela al-Qur’an, membela agama Allah. Agaknya, kasus Ahok yang menimbulkan berita-berita viral beruntun menjadi booster iman. Agaknya pula, kebanyakan wadah imannya terlalu sempit sehingga bocor di mana-mana, menenggelamkan pikiran dan emosi. Lisan tidak terjaga, mencaci maki sekenanya di sosial media. Toh barangkali kesehariannya tidak ubahnya Ella, sering naik turun imannya.

    Barangkali kita lupa atau madrasah-madrasah hapalan tidak pernah mendidik empati. Meletakkan diri dalam posisi orang lain sebelum memberikan penilaian padanya. Mengapa kita begitu tidak sabaran, padahal tidak akan membuat hidup lebih sulit?

    Mari sejenak meletakkan pikiran dan emosi di samping jasad, membiarkan diri terasuk dalam pikiran dan emosi orang lain. Lalu kembali dan menemukan kesamaan. Dari kesamaan beranjak ke gejala. Dari gejala beranjak ke fenomena. Dan perhatikan betapa sempitnya dunia kita. Tidak hanya rukun islam dan rukun iman, kita bahkan telah melupakan sekian banyak rukun lainnya. Tidak dapat mengingat rukun shalat, rukun puasa, rukun zakat, rukun haji, dan sekian rukun lainnya. Hampir tidak ada yang mempersoalkan itu. Orang akan bertanya pedas,”Bagaimana mungkin persoalan asasi begitu mudah terlupa?” Jawabannya justru sebaliknya, justru karena dia terlalu asasi dan abstrak sehingga terlupa.

    Tapi iman kita barangkali berbeda. Iman saya, mengakui Allah berarti mengakui setiap makhluknya. Terlepas ia seiman atau tidak. Mencintai Allah berarti mencintai setiap makhluk-Nya, terlepas apapun pandangan politiknya. Saya harus selalu mencari cara terbaik menghormatinya, tanpa sedikitpun menahan sikap saya. Saya harus mencari cara mengutuk tanpa harus menyakiti - meski sangat sulit atau bahkan hampir tidak mungkin, sebab perbedaan membuat orang lain merasa tersakiti begitu saja-, setidaknya berusaha mencari penjelasan paling berkepala dingin yang saya bisa.  

    Mohon maaf sekali lagi, karena kebodohan saya semakin parah, hilangkan saja fakta saya pernah di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Saya tidak ingin mempermalukan IMM dan Muhammadiyah lebih jauh. Mungkin saja saya akan dibilang hoaker, munafik, murtad, kafir. Sebutan semacam itu akan menjadi citra buruk. Jadi ini adalah pandangan pribadi; secuil upaya mengurangi kebodohan saya sendiri (menulis konon dapat membuatmu tetap berpikir dan berusaha mencari kesimpulan ‘lebih objektif’); pernyataan perang atas kebodohan, pengutukan atas penghakiman, dan kemuakan atas kelatahan.

    Bahan bacaan:
    1. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
    2. http://muslim.or.id/8631-definisi-iman.html
    3. Sumber: https://almanhaj.or.id/2956-bangunan-islam-syarah-rukun-islam-1.html
    4. https://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/01/membuktikan-kebenaran-iman/
    5. http://muslim.or.id/425-islam-iman-ihsan.html
    6. https://sabilulilmi.wordpress.com/2013/09/29/iman-dan-akhlak/
    7. http://lifehacker.com/why-your-memory-sucks-and-what-you-can-do-about-it-596782066
    8. http://www.nytimes.com/2013/01/22/science/older-brain-is-willing-but-too-full-for-new-memories.html?_r=3&
    9. https://figureoneblog.wordpress.com/2013/05/02/why-do-we-remember-countless-song-lyrics-but-not-our-studies/




  3. Amuro (Gou Ayano) akhirnya membuka rahasia kepada Nanami (Haru Kuroki), “Mashiro (Cocco) butuh teman saat dia mati”. Hanya untuk pernyataan singkat itulah penonton duduk 3 jam mengikuti jalan cerita datar film yang dirilis Maret 2016 lalu.

    Entah apakah penonton Amerika Serikat (atau Indonesia) betah duduk selama itu. Terakhir film terlama yang saya tonton adalah Boyhood. Itu juga masih kurang lama 14 menit dibandingkan the Bride for Van Winkle. Kehidupan manusia tidak dapat diceritakan dalam waktu 90-100 menit saja. Sineas Jepang agaknya memahami kesulitan tersebut – tidak sedikit film-film Jepang berdurasi di atas 2 jam. Ningen no Joken saja butuh waktu total 9 jam menceritakan apa yang tersirat di judulnya: Kondisi Manusia; atau yang lebih baru, Always Sanchome no Yuhi butuh waktu total sekitar 7 jam untuk menceritakan manusia. Pun masih tidak akan mampu merangkum seluruh kondisi manusia.

    The Bride for Van Winkle juga menceritakan kondisi manusia. Sebagaimana Boyhood atau Ningen no Joken, plotnya biasa saja, terlalu realistis (dan membosankan). Realitas kehidupan segelintir profesi dan kepribadian di Tokyo dipertemukan untuk mengungkap bongkah terdalam di diri manusia yang kerap tertutup kerasnya keseharian: empati.

    Nanami tokoh utamanya, namun itu bukan cerita tentang dia. Mashiro lah pusat masalah. Perempuan ini menyewa sebuah gedung besar bekas restoran, ditinggalinya sendiri. Mashiro suka memelihara binatang-binatang beracun, keong beracun atau kalajengking. Ia seorang aktris film porno yang mencintai pekerjaannya.

    Jangan harap informasi di atas didapatkan di awal film, sebab Nanami tokoh utamanya. Seorang guru honorer menyambi pegawai swalayan dan tutor online, yang dipermainkan oleh siswa lalu diberhentikan tidak lama sesudahnya karena suaranya terlalu halus. Ia bertemu Tetsuya secara online, lalu mengatakan dirinya gampangan, dan karena itu menikahi Tetsuya. Seorang pemalu yang tidak punya teman, tidak punya kerabat, kedua orang tua bercerai, dan menyewa kerabat palsu ke pesta pernikahannya. Kepribadian, latar belakang, dan kondisi hidup semacam itu seharusnya sudah cukup menjadikan Nanami sebagai Cinderella atau Rapunzel yang pantas mendapatkan ending bahagia.

    Sayang, ini bukan drama populer; Mashiro lah pusat masalah; dan Amuro penghubung penting di dalam penyelesaian masalahnya.

    Amuro seorang benri-ya, menerima pekerjaan apa saja. Ia mengorganisasi kerabat-kerabat palsu menghadiri pernikahan, mewakili salah satu pengantin yang menyewanya. Nanami mengenal Amuro karena transaksi tersebut. Nanami juga masih berhubungan dengan Amuro setelah menikah. Ia mencurigai Tetsuya berselingkuh. Amuro berjanji akan mencari informasi mengenai kemungkinan perselingkuhan Tetsuya.

    Tapi Amuro seorang bajingan. Ia hancurkan pernikahan Nanami sehingga terdampar di jalanan. Perempuan itu sampai diberi pekerjaan oleh pemilik hotel untuk membayar biaya tinggal di sana setelah diusir ibu mertuanya. Tanpa mimik bersalah Amuro menawarkan Nanami pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di tempat tinggal Mashiro, tanpa tahu kalau Mashiro pemilik rumahnya.

    Tidak tepat juga dianggap bajingan sebenarnya. Amuro hanya melakukan pekerjaan, dibayar untuk mencarikan teman bagi Mashiro saat dia mati. Nanami adalah perempuan yang perhatian, Amuro tahu itu: Nanami orang yang tepat mendampingi Mashiro. Ditawari pekerjaan sebagai pelayan, Nanami hendak dijadikan teman semati Mashiro.

    Mashiro menderita kanker (payudara?). Ia tahu hidupnya tidak lama lagi; lalu tak ingin mati sendirian. Hubungan Nanami dan Mashiro segera menjadi persahabatan, kemudian semakin intim. Malam itu kedua berbaring, sambil sesekali berciuman, Mashiro bertanya, maukah Nanami menikahinya dan mati bersamanya. Nanami menyetujuinya. Esok pagi, Mashiro telah mati, bunuh diri dengan menggenggam seekor keong beracun di tangannya. Membiarkan ibunya, Nanami, dan Amuro menangisi abunya.

    Menahan kesimpulan: Romantika Lesbian?

    Membaca judul film, pertanyaan standar akan muncul, ‘Siapa Rip Van Winkle? Siapa pengantinnya?’ Nanami menikahi Tetsuya. Disimpulkan dia seorang heteroseksual. Rip Van Winkle bisa jadi Amuro, namun Rip van Winkle adalah nama Mashiro di sebuah media sosial. Sekalipun curiga, saya tidak menyangka alur film bernuansa romantika lesbian.

    Pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengurangi kebosanan karena alur sedemikian datar. Tetap saja bukan film yang direkomendasikan bagi penonton yang tidak sabaran. Tidak mungkin mereka mau menunggu satu jam lebih hanya untuk tahu bahwa Mashiro seorang aktris film porno.

    Menonton The Bride for van Winkle perlu benar-benar menahan diri. Menahan kesimpulan dan menahan diri tidak mempercepat pergerakan film. Bukan film yang dapat dinikmati siapa saja, namun direkomendasikan bagi yang suka drama bertema kehidupan.

    Tidak ada tanda-tanda Mashiro seorang lesbian. Tidak pula terlihat dari Nanami. Namun semakin mendekati akhir film, acuan judul semakin jelas. Perkiraan di menit-menit awal, Nanami akan menjalin hubungan dengan Amuro atau kembali ke Tetsuya atau memilih hidup sendiri, ternyata tidak demikian. Kecewa? Tidak. The Bride for van Winkle diisi dengan banyak informasi setengah-setengah yang hanya bisa diketahui sisanya bila terus menonton. Tidak ada yang tahu bila Tetsuya dan ibunya tidak akan berhubungan lagi dengan Nanami. Tidak ada yang tahu bila ibu Mashiro akan muncul. Tidak ada yang tahu Mashiro akan mati. Tidak ada yang tahu bila rumah Mashiro pernah dipakai syuting film porno. Tidak ada pula yang tahu sejenis hubungan lesbi akan muncul di bagian hampir akhir cerita.

    Namun, relasi Nanami dan Mashiro terlalu dangkal bila disebut lesbian. Keduanya hanya orang-orang sendirian yang butuh sahabat. Dari empati mendalam muncul hasrat. Apa yang salah dengan menikah sesama jenis bila itu dapat mengikat kebahagiaan? Berbeda dengan orientasi seksual homoseksual yang bersifat psikologis, hubungan keduanya berasal dari lompatan filosofis setelah melalui kerumitan hidup. Hidup bersama lelaki atau perempuan tidak masalah selama bisa berbagi dan tertawa. Atas nama cinta mereka memutus batas-batas kelamin. Begitu tafsir saya tentang hubungan mereka. Soal tidak sepakat atau tidak sepakat itu urusan lain.

    Rahasia yang tidak terungkapkan

    The Bride for Rip van Winkle juga menggunakan teknik yang tidak umum: membiarkan rahasia tidak terungkap hingga akhir. Penonton seharusnya cukup yakin, Amuro sengaja merusak pernikahan Nanami dan Amuro, sehingga Nanami masuk dalam perangkap Amuro, menjadikannya teman Mashiro. Nanami tidak pernah tahu plot jahat ini sampai lagu penutup film terdengar.

    Amuro seharusnya benar-benar bajingan sehingga rahasia itu pantas diungkapkan. Mengingat kepribadian Nanami, tersingkapnya rahasia tidak akan merusak plot cerita. Apa susahnya menambahkan dialog satu menit membiarkan Nanami tahu ia telah dipermainkan? Semata agar penonton dengan rasa keadilan tinggi seperti saya lega.

    Ini cerita tentang kehidupan. Dalam kehidupan nyata, tidak semua rahasia terungkap bahkan hingga kau mati sekalipun. Beberapa rahasia terungkap pada Nanami di dalam the Bride for van Winkle, namun berulang kali ia diminta merahasiakannya lagi. Bukankah rantai penyingkapan rahasia semacam ini juga terjadi dalam keseharian. Rahasiamu diceritakan oleh seorang teman, temanmu bercerita kepada yang lain, lalu meminta agar tidak menceritakannya padamu. Rantai informasi terputus di sana.

    Toh tangisan Amuro di akhir film sudah membayar ‘kemarahan’ karena ‘kejahatannya’ dibiarkan. Biarlah yang tersimpan tidak terungkap, selama orang berubah dan masa lalu bukan masalah. Barangkali demikian salah satu moral cerita film ini.

    Ketelanjangan: penghormatan terakhir bagi mereka di industri pornografi

    Pornografi adalah industri besar di Jepang. Tidak kurang dari 30.000 film dirilis setiap tahunnya. Tidak seperti di Amerika barangkali, bintang film porno di Jepang dapat bermain di film populer untuk audiensi yang lebih luas. Sebut saja di antaranya Miyabi dan Sora Aoi.

    Kehidupan seksual juga tidak sedemikian tabu seperti di Indonesia. Beberapa film lain seperti Rinko Eighteen dan Sayonara Kabukicho tidak memperlihatkan citra buruk terhadap pornografi maupun pelacuran, meskipun ada tokoh-tokoh di dalamnya yang mengungkapkan ketidaksetujuan.

    Hanya saja, pornografi tetaplah sesuatu yang buruk, bahkan bagi orang yang tidak religius sekalipun. Orang tua tidak akan lagi mengakui anaknya bila ia terjun ke dunia tersebut. Kasus ini misalnya terjadi pada Miyabi.
    Tokoh Mashiro bisa jadi representasi ini. Bahkan setelah kematiannya ibu Mashiro tidak ingin menerima abunya.

    Ibu Mashiro tetaplah seorang ibu. Dengan karakter tipikal orang tua Jepang zaman Showa yang selalu menjaga kewibawaannya, ia tetaplah wanita yang melahirkan Mashiro. Di akhir cerita ia membuka bajunya lalu berkata, ‘telanjang di depan orang lain, itu memalukan’. Amuro tiba-tiba menangis dan ikut membuka bajunya lalu berkata, ‘memang memalukan’. Keduanya menikmati shochu sambil menangis, bersimpuh di depan abu Mashiro, memberikan penghormatan. Nanami yang tidak ikut membuka baju menangis sebisanya lalu tiba-tiba tertawa.

    Scene tersebut memunculkan perasaan campur aduk. Haruskah ikut menangis? Atau bersyukur sambil tersenyum? The Bride for van Winkle mungkin pembelaan bagi mereka yang terjun di industri pornografi. Ia bahkan mungkin tidak mengajak penonton memahami para aktris, entah mereka terjun secara sukarela atau terpaksa, mereka tetap saja manusia, sama seperti saya yang menontonnya. Setidaknya bagi saya, sepotong cerita mereka, yang barangkali sama kesepiannya seperti Mashiro, menimbulkan pengertian.

    Sweet sad ending?


    Saya tidak tahu bagaimana harus menyebut akhir cerita the Bride for Rip van Winkle. Cerita diakhiri dengan senyum bahagia dan Mashiro terlupa. Entah bagaimana harus menggambarkannya, sebab saya bukanlah kritikus ahli. Tapi bukankah kehidupan kita seharusnya begitu? Tidak peduli seberapa pahit, hidup tetap berlanjut. The Bride of Rip van Winkle hanyalah sedikit cuilan dari pengalaman, mungkin pengalaman nyata di Tokyo, yang dihadirkan kembali dalam bentuk cerita. Orang-orang yang sendirian, berusaha mencari teman atau keluarga, dan bila perpisahan terjadi masa lalu hubungan emosional menjadi ingatan berharga, menjaga yang ditinggalkan tetap melangkah menghadapi dunianya.