Hari ini saya
begitu kacau. Keadaan ini sudah saya alami sejak seorang partner kerja
memutuskan keluar hari Ahad lalu. Ditambah lagi beberapa urusan yang secara
tidak langsung harus melibatkan saya, secara emosional khususnya.
Kembali menjadi
melankolis...setelah bertemu orang yang mengingatkan saya pada diri saya 3-5
tahun lalu.
Saya kini ‘bekerja’
mengurusi situs online untuk hobi-hobi orang kaya. Tidak perlu disebutkan apa
hobi dan situsnya. Karena pekerjaan ini, saya harus tinggal di Sukoharjo.
Letaknya sekitar seperempat jam dari Jembatan Bacem (yang konon jadi saksi bisu
penghilangan paksa anggota PKI dan terduga PKI).
Walau sebenarnya
kerja seperti ini bisa dilakukan secara remote / jarak jauh, namun orang
yang memberi saya pekerjaan ingin agar ‘staf’-nya tinggal di lokasi.
Saya memberi
tanda petik untuk kata ‘kerja’ dan ‘staf’ sebab dalam kasus saya, keduanya
memiliki pengertian serupa tapi tak sama dengan anggapan banyak orang. Saya
berharap bisa mengalahkan kemalasan untuk membuat tulisan lain mengenai ini.
Intinya, saya dan
orang-orang seperti saya merupakan sekumpulan orang-orang anti-mainstream
dalam pekerjaan. Alih-alih memilih pekerjaan reguler dengan jam kerja dan
aturan yang ketat, terpisah dari kesukaan dan kehidupan pribadi; Kami memilih
pekerjaan lepas dengan jam kerja sesuka hati dan tidak memisahkan antara hobi
dan pekerjaan.
Karena itu,
karakteristik kami independen dan sulit menjadi bawahan. ‘Bos’ saya memahami
hal itu, sebab dia termasuk salah satu dari yang saya sebut sebagai “kami”.
Daripada menyebut saya sebagai “bawahan”, “karyawan”, atau “staf”, dia lebih
suka menggunakan kata “partner”. Dan daripada “instruksi”, dia lebih suka “kolaborasi”.
Dan sebab itulah
saya memilih pekerjaan ini, bersedia tinggal di Sukoharjo. Sialnya, setelah
satu setengah bulan bekerja di sini, saya satu-satunya ‘pegawai’. Ada dua orang
lain, namun baru satu minggu sudah keluar. Yang satu muncul di pertengahan
September. Yang lain di akhir September.
Saya lewati
cerita mengenai orang pertama. Sebab yang membuat saya kacau adalah orang
kedua. Pertemuan saya dengannya membuat sisi lain diri saya menemukan jalan
keluar, setelah saya sembunyikan selama setahun terakhir.
Seminggu dia di
sini, kami berdiskusi mengenai “introversi” dan “introversisme”, keadaan
introvert dan ideologi orang-orang introvert, jika saya boleh mengatakan
begitu. Buat yang belum tahu apa itu introvert, bisa baca tulisan saya tentang introversi.
Anonimitas dan Kesendirian
Namanya Adit.
Umurnya 24 tahun, lebih muda 3 tahun dari saya. Dalam banyak hal, saya dan dia
memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama menyukai film-film yang absurd, datar,
dan memerlukan refleksi seperti Mr. Nobody, The Truman Show, atau Before
Sunrise. Kami sama-sama menyukai musik dan sastra. Kami sama-sama menyukai
diskusi. Dan pastinya, kami sama-sama menyukai kesendirian dan anonimitas.
Dia angkatan 2009
di Universitas Negeri Semarang. Di tahun keenam dia memutuskan menarik diri
dari kuliah. Alasannya kepada orang-orang, tidak ingin mendapatkan gelar
sarjana pendidikan.
Saya yakin bukan
itu alasan sebenarnya. Orang-orang introvet sangat mawas diri dan waspada
terhadap orang lain. Mereka sangat membatasi keterlibatan emosional dengan
orang lain, kecuali mereka telah percaya. Dan mereka tidak akan pernah curhat
atau menyebutkan alasan sebenarnya melakukan sesuatu kalau tidak percaya pada
orang itu. Sebab kebanyakan orang dianggap tidak akan paham dengan alasan dan
tindakan yang mereka ambil.
Saya tahu, karena
saya telah melakukannya sepanjang hidup. Ternyata benar, bukan itu alasan
sebenarnya. Dia hanya ingin menghindari orang-orang yang ia kenal di Semarang. Ia
ganti nomor. Menarik diri dari semua orang.
Dibalik itu pasti
ada kekecewaan terhadap orang lain dan dunia. Benar, itu yang terjadi
dengannya. Ia kecewa, merasa telah berkorban banyak tapi entah kenapa semuanya
terasa sia-sia. Menurut ceritanya, dia pernah memimpin organisasi jurnalistik
mahasiswa dan sendirian melakukan pendampingan organisasi dalam waktu cukup
lama. Hal itu yang juga terjadi pada saya tiga tahun lalu, saat saya memutuskan
membuang semua atribut organisasi, menganggap semua pengorbanan sebagai masa
lalu, dan tidak akan pernah mengungkitnya kembali. Berarti kami sama-sama berumur
24 tahun saat memutuskan menarik diri dari orang-orang yang kami kenal.
Dia ingin hidup
dalam dunianya sendiri. Tidak dikenal oleh orang-orang. Anonim. Dia ingin
sendiri. Melakukan apa yang dia sukai. Sepertinya, tidak heran bila saya pun
kerap menulis tentang ketidakdikenalan dan kesendirian. Sebab kami belajar untuk 'mengabaikan' orang lain. Hidup orang-orang seperti kami hanya didasarkan pada
prinsip yang sangat sederhana: Yang penting bisa hidup melakukan apa yang
disukai. ‘Dunia dan orang-orang begitu menyebalkan’ kata Adit. Dan kami hanya
bisa melakukan apa yang kami suka untuk melupakan kesebalan terhadap dunia.

Kami belajar
tidak menghiraukan pandangan orang lain, sekalipun kami sangat peduli dengan
anggapan orang lain tentang kami. Kami sedemikian mawas sehingga sangat
sensitif dengan perubahan sikap seseorang, dan sering menduga perubahan sikap
terjadi karena kami berbuat hal yang tidak orang lain sukai.
Karena
kontradiksi keadaan mental itu, penarikan diri, tidak dikenal, dan sendiri
menjadi pilihan terbaik. Karena kami tidak ingin terlibat secara emosional,
bukan tidak mau. Kami sangat peduli dengan orang lain. Namun kepedulian itu
sangat menguras emosi. Dan Kami tidak dapat mengisi kembali emosi itu dengan
orang yang tidak kami percaya. Cara terbaik mengisi kembali energi adalah
dengan sendiri.
Fatalisme dan Sinisme: Mengapa dunia dan orang-orang begitu memuakkan
Pertama-tama,
saya minta maaf kepada para introvert sedunia jika bagian ini dianggap sebagai
generalisasi. Saat saya mengatakan ideologi orang-orang introvert, bukan
berarti orang-orang introvert sedunia bersatu dan membentuk ideologi sendiri. Dengan
menggunakan ideologi saya bicara tentang keyakinan yang pernah saya temukan
pada orang-orang introvert seperti saya.
Ideologi orang
introvert berkutat pada dua hal: fatalisme dan sinisme. Jika fatalis
berhubungan dengan orang yang menganggap dunia memuakkan, maka sinis menganggap
orang yang memuakkan. Orang introvet seperti saya dan Adit menganggap dunia
sekaligus orang sama-sama memuakkan. Seolah tidak ada tempat di dunia untuk
orang-orang seperti Kami. Apakah orang lain yang tidak dapat terlibat dengan
Kami atau Kami yang tidak dapat berinteraksi dengan mereka, entahlah.
Pada titik
ekstrem, kami ingin bunuh diri. Dulu saya sangat sering ingin bunuh diri,
sampai takut melihat benda-benda tajam, apalagi memegangnya. Adit malah masih
berpikir ingin bunuh diri suatu saat nanti.
Kami sangat sulit
percaya dengan orang lain. Apalagi untuk berbicara mengenai pandangan-pandangan
kami tentang kehidupan. Ini terjadi sampai hubungan dengan lawan jenis. Seperti
saya dahulu, Adit masih berpikir tidak ingin menikah. Bukan tidak mau, tapi dia
takut lawan jenisnya akan terpengaruh dengannya. Bukankah kami begitu peduli
pada orang lain? Kami tahu hidup kami terasa menyakitkan, sebab itu kami tidak
ingin orang lain seperti kami.
Harapan
Dalam diskusi
kami, kami mengutuk dunia. Saat itu Adit mengatakan ia masih ingin bunuh diri.
Saya tersenyum waktu dia mengatakan itu. Saya katakan,”Saya beruntung bertemu
Freire”.
![]() |
Ini salah satu buku yang 'menyelamatkan' saya |
Saya pernah
benar-benar kehilangan harapan hidup. Saya beruntung bertemu Freire. Membaca
Freire saya menemukan kembali harapan. Kita harus mengutuk dunia yang tidak
kita setujui. Namun tidak berhenti di situ. Dunia ini penuh dengan
ketidakadilan. Tapi bukan itu hakikatnya kehidupan manusia. Setidaknya, semua
orang yang pernah saya kenal ingin keadilan, perdamaian, kebaikan, kebenaran,
kepedulian dan semua kata-kata indah lainnya.
Katakanlah,
kodratnya manusia itu menyukai hal-hal yang indah. Kalau sepanjang sejarah yang
kita temukan hanyalah ketidakadilan, penderitaan, perang, dan penindasan, itu
bukan kodrat manusia sebenarnya.
Agar kita kembali
pada kodrat itu, kita harus berharap. Kita harus mencaci maki apa yang diyakini
salah, mengumumkan pada dunia apa alternatifnya, dan berusaha mewujudkannya
walau dalam lingkup sangat kecil.
Saya tidak ingin
kehilangan harapan, karena saya takut suatu hari nanti bunuh diri. Kira-kira
itulah yang saya katakan kepadanya. Di sisi lain fatalisme dan sinisme, masih
ada banyak orang yang memiliki harapan besar agar dunia lebih ramah terhadap
orang-orang seperti kami yang harus terasing karena kepribadian yang tidak
pernah ‘kami kehendaki’.
![]() |
Haruskah introvert percaya, pada harapan? |
Ini bukan keinginan saya: kami sangat rasional tapi percaya pada suasana hati
Introvet tidak
muncul begitu saja. Kalau boleh memilih, saya tidak pernah ingin seperti ini.
Bahkan, saya tidak pernah ingin dilahirkan. Namun konon, dalam film Mr. Nobody,
kitalah yang menginginkan kehidupan, namun kita tidak ingat karena Malaikat
Pembuat Lupa menghapus ingatan kita sebelum lahir.
Kalau dia tidak
muncul begitu saja, berarti dia bisa diubah. Baik Adit dan saya berusaha
bersosialisasi lebih banyak agar bisa lebih ekstrovert. Namun, karena
kekecewaan kecenderungan menyendiri itu kembali lagi.
Beberapa hari
kemudian, malam sebelum ia keluar dari pekerjaan, Adit mengatakan saya benar.
Hanya Harapan yang bisa membuat kita bertahan hidup. Selama masih ada harapan
dan kemungkinan mewujudkannya, kita harus terus hidup.

Dia melanjutkan.
Berada di sini, bekerja di sini, bukanlah keinginannya. “Kalau untuk hidup,
saya bisa tinggal sama orang tua, tapi melakukan apa yang saya sukai.”
Walau saya kurang
sepakat dengannya, sebab akan ada saat dia harus menghidupi dirinya sendiri,
saya paham keinginannya. Saya sampai sekarang juga masih begitu. Sangat
mengandalkan emosi dan suasana hati. Sepertinya, saya bisa tiba-tiba kehilangan
mood dan tiba-tiba sangat bersemangat. Saat kehilangan mood, saya tidak akan
peduli lagi dengan apapun.
Saya memang tidak
lagi seekstrem dulu. Sekarang saya mulai belajar mengendalikan diri. Akibatnya
saya menjadi orang yang sulit mengambil keputusan. Kalau mood tiba-tiba berubah
dan menghendaki saya melakukan sesuatu, saya akan membiarkannya. Di sisi lain
saya akan sibuk memikirkan mood ini ‘nyata’ atau tidak. Apakah apa yang saya
pikirkan benar-benar sesuai dengan kenyataannya? Apakah memang benar ini yang
saya sukai atau tidak sukai? Apakah memang benar-benar ini saya inginkan atau
tidak inginkan? Dan saya butuh lama sampai emosi menjadi ‘datar’/stabil baru
mengambil keputusan.
Kami sangat
rasional. Namun di sisi lain, ada masa emosi sangat menyakitkan, sehingga
rasanya tidak dapat lagi ditanggung sendirian. Saat itulah, kami tidak akan
pernah menjadi rasional. Apapun yang ada di pikiran saat itu akan dilakukan. Kalau
katanya “Pergi!”, maka kami akan pergi.
Itu yang dialami
Adit. Dia bilang dia ingin diskusi dulu sama ibunya. Tapi saya tahu, kalau dia
berdiskusi dengan ibunya, dia pasti keluar. Sebab saya juga begitu. (Terima
kasih ibu, masih menjadi orang paling memahami saya sampai saat ini.)
Dan saya tidak
memaksa dia, sekalipun saya kurang sepakat. Saya hanya bilang,”Kalau saya
seumuran kamu, saya tidak akan menahan kamu. Masalahnya saya sekarang berumur
27 tahun.” Saya tahu betapa keras kepalanya orang seperti dia, dan berharap dia
bisa sedikit melunak.
Harapan saya
tidak terwujud rupanya. Dia memutuskan pulang ke rumah di pagi harinya.
Berjaga-jaga kalau-kalau dia memang memutuskan keluar, saya sudah bilang untuk
berpamitan terlebih dahulu.
Saya tahu itu
keputusan yang sulit bagi dia. Kami berdiskusi sepanjang malam. Lalu saat saya
tidur, dia masih terbangun hingga pagi hari. Di satu sisi saya hanya bisa
tersenyum karena ia mengingatkan tingkah pola saya di masa lalu. Di sisi lain
itu juga ikut menguras emosi saya karena saya harus mengingat.
Adit akhirnya
keluar, dan tinggal saya sendirian. Tapi efeknya sangat dalam, sebab saya
sangat jarang bertemu orang ‘sealiran’. Inilah alasan saya membuat tulisan ini.
Kemunculan dan kepergiannya membuat saya ingin menjadi melankolis kembali, dan
ingin meninggalkan pekerjaan ini, menjalani kehidupan sendiri lagi.
Haha, entahlah.
Saatnya mengendalikan diri. Terima kasih sudah membaca.
Note: pada gambar-gambar di atas ada semacam kontradiksi. di satu sisi ia pemalu, di sisi lain tidak. Hmm, orang introvert dibilang pemalu, iya. Tapi juga sekaligus tidak pemalu. :-D
Oh ya, saya pernah membuat beberapa tulisan yang menyinggung harapan dan buku Pedagogi Pengharapan Paulo Freire:
1. Freire, Pengharapan, dan Tenunan Pengalaman Saya
2. Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan pt. 1
3. Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan pt. 2
Note: pada gambar-gambar di atas ada semacam kontradiksi. di satu sisi ia pemalu, di sisi lain tidak. Hmm, orang introvert dibilang pemalu, iya. Tapi juga sekaligus tidak pemalu. :-D
Oh ya, saya pernah membuat beberapa tulisan yang menyinggung harapan dan buku Pedagogi Pengharapan Paulo Freire:
1. Freire, Pengharapan, dan Tenunan Pengalaman Saya
2. Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan pt. 1
3. Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan pt. 2

Waahhhh.......
ternyataaaaa. 😂