Rss Feed
  1. Cerita Lain Tentang Si Introvert

    Tuesday, September 29, 2015


    Hari ini saya begitu kacau. Keadaan ini sudah saya alami sejak seorang partner kerja memutuskan keluar hari Ahad lalu. Ditambah lagi beberapa urusan yang secara tidak langsung harus melibatkan saya, secara emosional khususnya. 

    Kembali menjadi melankolis...setelah bertemu orang yang mengingatkan saya pada diri saya 3-5 tahun lalu. 


    Saya kini ‘bekerja’ mengurusi situs online untuk hobi-hobi orang kaya. Tidak perlu disebutkan apa hobi dan situsnya. Karena pekerjaan ini, saya harus tinggal di Sukoharjo. Letaknya sekitar seperempat jam dari Jembatan Bacem (yang konon jadi saksi bisu penghilangan paksa anggota PKI dan terduga PKI).

    Walau sebenarnya kerja seperti ini bisa dilakukan secara remote / jarak jauh, namun orang yang memberi saya pekerjaan ingin agar ‘staf’-nya tinggal di lokasi.

    Saya memberi tanda petik untuk kata ‘kerja’ dan ‘staf’ sebab dalam kasus saya, keduanya memiliki pengertian serupa tapi tak sama dengan anggapan banyak orang. Saya berharap bisa mengalahkan kemalasan untuk membuat tulisan lain mengenai ini.

    Intinya, saya dan orang-orang seperti saya merupakan sekumpulan orang-orang anti-mainstream dalam pekerjaan. Alih-alih memilih pekerjaan reguler dengan jam kerja dan aturan yang ketat, terpisah dari kesukaan dan kehidupan pribadi; Kami memilih pekerjaan lepas dengan jam kerja sesuka hati dan tidak memisahkan antara hobi dan pekerjaan.

    Karena itu, karakteristik kami independen dan sulit menjadi bawahan. ‘Bos’ saya memahami hal itu, sebab dia termasuk salah satu dari yang saya sebut sebagai “kami”. Daripada menyebut saya sebagai “bawahan”, “karyawan”, atau “staf”, dia lebih suka menggunakan kata “partner”. Dan daripada “instruksi”, dia lebih suka “kolaborasi”.

    Dan sebab itulah saya memilih pekerjaan ini, bersedia tinggal di Sukoharjo. Sialnya, setelah satu setengah bulan bekerja di sini, saya satu-satunya ‘pegawai’. Ada dua orang lain, namun baru satu minggu sudah keluar. Yang satu muncul di pertengahan September. Yang lain di akhir September.

    Saya lewati cerita mengenai orang pertama. Sebab yang membuat saya kacau adalah orang kedua. Pertemuan saya dengannya membuat sisi lain diri saya menemukan jalan keluar, setelah saya sembunyikan selama setahun terakhir.

    Seminggu dia di sini, kami berdiskusi mengenai “introversi” dan “introversisme”, keadaan introvert dan ideologi orang-orang introvert, jika saya boleh mengatakan begitu. Buat yang belum tahu apa itu introvert, bisa baca tulisan saya tentang introversi

    Anonimitas dan Kesendirian

     

    Namanya Adit. Umurnya 24 tahun, lebih muda 3 tahun dari saya. Dalam banyak hal, saya dan dia memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama menyukai film-film yang absurd, datar, dan memerlukan refleksi seperti Mr. Nobody, The Truman Show, atau Before Sunrise. Kami sama-sama menyukai musik dan sastra. Kami sama-sama menyukai diskusi. Dan pastinya, kami sama-sama menyukai kesendirian dan anonimitas.

    Dia angkatan 2009 di Universitas Negeri Semarang. Di tahun keenam dia memutuskan menarik diri dari kuliah. Alasannya kepada orang-orang, tidak ingin mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

    Saya yakin bukan itu alasan sebenarnya. Orang-orang introvet sangat mawas diri dan waspada terhadap orang lain. Mereka sangat membatasi keterlibatan emosional dengan orang lain, kecuali mereka telah percaya. Dan mereka tidak akan pernah curhat atau menyebutkan alasan sebenarnya melakukan sesuatu kalau tidak percaya pada orang itu. Sebab kebanyakan orang dianggap tidak akan paham dengan alasan dan tindakan yang mereka ambil. 



    Saya tahu, karena saya telah melakukannya sepanjang hidup. Ternyata benar, bukan itu alasan sebenarnya. Dia hanya ingin menghindari orang-orang yang ia kenal di Semarang. Ia ganti nomor. Menarik diri dari semua orang.

    Dibalik itu pasti ada kekecewaan terhadap orang lain dan dunia. Benar, itu yang terjadi dengannya. Ia kecewa, merasa telah berkorban banyak tapi entah kenapa semuanya terasa sia-sia. Menurut ceritanya, dia pernah memimpin organisasi jurnalistik mahasiswa dan sendirian melakukan pendampingan organisasi dalam waktu cukup lama. Hal itu yang juga terjadi pada saya tiga tahun lalu, saat saya memutuskan membuang semua atribut organisasi, menganggap semua pengorbanan sebagai masa lalu, dan tidak akan pernah mengungkitnya kembali. Berarti kami sama-sama berumur 24 tahun saat memutuskan menarik diri dari orang-orang yang kami kenal.

    Dia ingin hidup dalam dunianya sendiri. Tidak dikenal oleh orang-orang. Anonim. Dia ingin sendiri. Melakukan apa yang dia sukai. Sepertinya, tidak heran bila saya pun kerap menulis tentang ketidakdikenalan dan kesendirian. Sebab kami belajar untuk 'mengabaikan' orang lain. Hidup orang-orang seperti kami hanya didasarkan pada prinsip yang sangat sederhana: Yang penting bisa hidup melakukan apa yang disukai. ‘Dunia dan orang-orang begitu menyebalkan’ kata Adit. Dan kami hanya bisa melakukan apa yang kami suka untuk melupakan kesebalan terhadap dunia. 

    http://www.halogensoftware.com/uploads/blog/the-psychology-of-introverted-employees-understand-them-to-manage-them-better/_thumb/848x450/psychology-of-introverted-employees.png


    Kami belajar tidak menghiraukan pandangan orang lain, sekalipun kami sangat peduli dengan anggapan orang lain tentang kami. Kami sedemikian mawas sehingga sangat sensitif dengan perubahan sikap seseorang, dan sering menduga perubahan sikap terjadi karena kami berbuat hal yang tidak orang lain sukai.

    Karena kontradiksi keadaan mental itu, penarikan diri, tidak dikenal, dan sendiri menjadi pilihan terbaik. Karena kami tidak ingin terlibat secara emosional, bukan tidak mau. Kami sangat peduli dengan orang lain. Namun kepedulian itu sangat menguras emosi. Dan Kami tidak dapat mengisi kembali emosi itu dengan orang yang tidak kami percaya. Cara terbaik mengisi kembali energi adalah dengan sendiri. 

    Fatalisme dan Sinisme: Mengapa dunia dan orang-orang begitu memuakkan

     

    Pertama-tama, saya minta maaf kepada para introvert sedunia jika bagian ini dianggap sebagai generalisasi. Saat saya mengatakan ideologi orang-orang introvert, bukan berarti orang-orang introvert sedunia bersatu dan membentuk ideologi sendiri. Dengan menggunakan ideologi saya bicara tentang keyakinan yang pernah saya temukan pada orang-orang introvert seperti saya.

    Ideologi orang introvert berkutat pada dua hal: fatalisme dan sinisme. Jika fatalis berhubungan dengan orang yang menganggap dunia memuakkan, maka sinis menganggap orang yang memuakkan. Orang introvet seperti saya dan Adit menganggap dunia sekaligus orang sama-sama memuakkan. Seolah tidak ada tempat di dunia untuk orang-orang seperti Kami. Apakah orang lain yang tidak dapat terlibat dengan Kami atau Kami yang tidak dapat berinteraksi dengan mereka, entahlah.

    Pada titik ekstrem, kami ingin bunuh diri. Dulu saya sangat sering ingin bunuh diri, sampai takut melihat benda-benda tajam, apalagi memegangnya. Adit malah masih berpikir ingin bunuh diri suatu saat nanti.

    Kami sangat sulit percaya dengan orang lain. Apalagi untuk berbicara mengenai pandangan-pandangan kami tentang kehidupan. Ini terjadi sampai hubungan dengan lawan jenis. Seperti saya dahulu, Adit masih berpikir tidak ingin menikah. Bukan tidak mau, tapi dia takut lawan jenisnya akan terpengaruh dengannya. Bukankah kami begitu peduli pada orang lain? Kami tahu hidup kami terasa menyakitkan, sebab itu kami tidak ingin orang lain seperti kami. 
    http://cdn-media-1.lifehack.org/wp-content/files/2014/06/Not-shy.jpg

    Harapan

     

    Dalam diskusi kami, kami mengutuk dunia. Saat itu Adit mengatakan ia masih ingin bunuh diri. Saya tersenyum waktu dia mengatakan itu. Saya katakan,”Saya beruntung bertemu Freire”.

    Ini salah satu buku yang 'menyelamatkan' saya
    Saya pernah benar-benar kehilangan harapan hidup. Saya beruntung bertemu Freire. Membaca Freire saya menemukan kembali harapan. Kita harus mengutuk dunia yang tidak kita setujui. Namun tidak berhenti di situ. Dunia ini penuh dengan ketidakadilan. Tapi bukan itu hakikatnya kehidupan manusia. Setidaknya, semua orang yang pernah saya kenal ingin keadilan, perdamaian, kebaikan, kebenaran, kepedulian dan semua kata-kata indah lainnya.

    Katakanlah, kodratnya manusia itu menyukai hal-hal yang indah. Kalau sepanjang sejarah yang kita temukan hanyalah ketidakadilan, penderitaan, perang, dan penindasan, itu bukan kodrat manusia sebenarnya.

    Agar kita kembali pada kodrat itu, kita harus berharap. Kita harus mencaci maki apa yang diyakini salah, mengumumkan pada dunia apa alternatifnya, dan berusaha mewujudkannya walau dalam lingkup sangat kecil. 

    Saya tidak ingin kehilangan harapan, karena saya takut suatu hari nanti bunuh diri. Kira-kira itulah yang saya katakan kepadanya. Di sisi lain fatalisme dan sinisme, masih ada banyak orang yang memiliki harapan besar agar dunia lebih ramah terhadap orang-orang seperti kami yang harus terasing karena kepribadian yang tidak pernah ‘kami kehendaki’.
    https://lgitss.files.wordpress.com/2015/01/introverts-notahandicap.jpg
    Haruskah introvert percaya, pada harapan?

    Ini bukan keinginan saya: kami sangat rasional tapi percaya pada suasana hati

     

    Introvet tidak muncul begitu saja. Kalau boleh memilih, saya tidak pernah ingin seperti ini. Bahkan, saya tidak pernah ingin dilahirkan. Namun konon, dalam film Mr. Nobody, kitalah yang menginginkan kehidupan, namun kita tidak ingat karena Malaikat Pembuat Lupa menghapus ingatan kita sebelum lahir.

    Kalau dia tidak muncul begitu saja, berarti dia bisa diubah. Baik Adit dan saya berusaha bersosialisasi lebih banyak agar bisa lebih ekstrovert. Namun, karena kekecewaan kecenderungan menyendiri itu kembali lagi.

    Beberapa hari kemudian, malam sebelum ia keluar dari pekerjaan, Adit mengatakan saya benar. Hanya Harapan yang bisa membuat kita bertahan hidup. Selama masih ada harapan dan kemungkinan mewujudkannya, kita harus terus hidup. 

    http://g.fastcompany.net/multisite_files/fastcompany/imagecache/slideshow_large/slideshow/2013/09/3018832-slide-s-6-so-youre-an-introvert-you-can-still-nail-that-job-interview.jpg

    Dia melanjutkan. Berada di sini, bekerja di sini, bukanlah keinginannya. “Kalau untuk hidup, saya bisa tinggal sama orang tua, tapi melakukan apa yang saya sukai.”

    Walau saya kurang sepakat dengannya, sebab akan ada saat dia harus menghidupi dirinya sendiri, saya paham keinginannya. Saya sampai sekarang juga masih begitu. Sangat mengandalkan emosi dan suasana hati. Sepertinya, saya bisa tiba-tiba kehilangan mood dan tiba-tiba sangat bersemangat. Saat kehilangan mood, saya tidak akan peduli lagi dengan apapun. 

    Saya memang tidak lagi seekstrem dulu. Sekarang saya mulai belajar mengendalikan diri. Akibatnya saya menjadi orang yang sulit mengambil keputusan. Kalau mood tiba-tiba berubah dan menghendaki saya melakukan sesuatu, saya akan membiarkannya. Di sisi lain saya akan sibuk memikirkan mood ini ‘nyata’ atau tidak. Apakah apa yang saya pikirkan benar-benar sesuai dengan kenyataannya? Apakah memang benar ini yang saya sukai atau tidak sukai? Apakah memang benar-benar ini saya inginkan atau tidak inginkan? Dan saya butuh lama sampai emosi menjadi ‘datar’/stabil baru mengambil keputusan. 

    Kami sangat rasional. Namun di sisi lain, ada masa emosi sangat menyakitkan, sehingga rasanya tidak dapat lagi ditanggung sendirian. Saat itulah, kami tidak akan pernah menjadi rasional. Apapun yang ada di pikiran saat itu akan dilakukan. Kalau katanya “Pergi!”, maka kami akan pergi. 

    Itu yang dialami Adit. Dia bilang dia ingin diskusi dulu sama ibunya. Tapi saya tahu, kalau dia berdiskusi dengan ibunya, dia pasti keluar. Sebab saya juga begitu. (Terima kasih ibu, masih menjadi orang paling memahami saya sampai saat ini.)

    Dan saya tidak memaksa dia, sekalipun saya kurang sepakat. Saya hanya bilang,”Kalau saya seumuran kamu, saya tidak akan menahan kamu. Masalahnya saya sekarang berumur 27 tahun.” Saya tahu betapa keras kepalanya orang seperti dia, dan berharap dia bisa sedikit melunak.

    Harapan saya tidak terwujud rupanya. Dia memutuskan pulang ke rumah di pagi harinya. Berjaga-jaga kalau-kalau dia memang memutuskan keluar, saya sudah bilang untuk berpamitan terlebih dahulu.

    Saya tahu itu keputusan yang sulit bagi dia. Kami berdiskusi sepanjang malam. Lalu saat saya tidur, dia masih terbangun hingga pagi hari. Di satu sisi saya hanya bisa tersenyum karena ia mengingatkan tingkah pola saya di masa lalu. Di sisi lain itu juga ikut menguras emosi saya karena saya harus mengingat.

    Adit akhirnya keluar, dan tinggal saya sendirian. Tapi efeknya sangat dalam, sebab saya sangat jarang bertemu orang ‘sealiran’. Inilah alasan saya membuat tulisan ini. Kemunculan dan kepergiannya membuat saya ingin menjadi melankolis kembali, dan ingin meninggalkan pekerjaan ini, menjalani kehidupan sendiri lagi.

    Haha, entahlah. Saatnya mengendalikan diri. Terima kasih sudah membaca. 

    Note: pada gambar-gambar di atas ada semacam kontradiksi. di satu sisi ia pemalu, di sisi lain tidak. Hmm, orang introvert dibilang pemalu, iya. Tapi juga sekaligus tidak pemalu. :-D

    Oh ya, saya pernah membuat beberapa tulisan yang menyinggung harapan dan buku Pedagogi Pengharapan Paulo Freire:
    1. Freire, Pengharapan, dan Tenunan Pengalaman Saya
    2. Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan pt. 1
    3. Membaca Kembali Pedagogi Pengharapan pt. 2

    http://www.amberbird.com/blog/wp-content/uploads/2015/06/introvert.jpg



  2. 2 comments:

    1. Anonymous said...

      Waahhhh.......

    2. adi monki said...

      ternyataaaaa. 😂

    Post a Comment