“Ini nggak di-ponten, Om?” kata Raihan, seorang anak
binaan saya, sambil menunjuk pekerjaan tulisnya. Setelah sekian lama, baru kali
ini istilah ponten saya dengar kembali. Terkejut juga, rupanya masih
lestari. Ponten mengacu pada nilai. Memberi ponten berarti
memberi nilai. Saya tidak tahu darimana asal kata itu dan bagaimana ejaan
aslinya. Saya hanya menulis berdasarkan pendengaran saja.
Saya geli bercampur bingung mendengar pertanyaannya. Geli karena
istilah yang ia gunakan, bingung harus merespon apa, Saya tidak pernah
meniatkan pekerjaan itu sebagai tugas yang akan dinilai akhirnya. Akhirnya saya
menanggapi pendek, “Buat apa?”
“eh, Iyaalah. Diponten ajalah.” Katanya seraya
memohon.
“nggak usahlah, ya.” Kata saya sambil tersenyum.
“kalo nggak ditandangani aja,”
Kalau tanda tangan tidak masalah, kata saya. Anak lainnya,
Riza, lebih gigih. Ia tidak puas dengan tanda tangansaja.
“ini dikasih nilai lah, Kak.” Dia mengulang itu beberapa
kali, sekalipun saya berusaha menolak. Tidak tahu bagaimana lagi harus menolak.
Akhirnya saya menanyakan, nilai berapa yang ia inginkan. 100, jawabnya. Saya
minta dia tuliskan sendiri angka tersebut di lembar kerjanya. Ia tidak mau.
Akhirnya, saya tuliskan juga angka 100 di sana. Riza masih juga protes.
“Dikasih tanda tangan, Kak.” Mintanya kepada saya. Kak, Om,
dan Bang adalah variasi panggilan mereka pada saya dan saya tidak soal dengan
itu.
“Kan sudah ditanda tangani ini.” Jelas saya menunjukkan
tanda tangan saya di atas lembar kerjanya.
“Bukan seperti itu. Kayak gini.” Dia memberi tanda paraf yang
sangat saya kenal: sebuah garis ditarik vertikal ke atas lalu dilekukkan ke
kiri hingga ke kanan hampir membentuk 2/3 lingkaran, lalu ditarik miring ke
kanan bawah. Kira-kira begitu dekripsinya. Saya kira sebagian besar anak-anak
seusia saya juga sangat mengenal pola ini. Seolah ini adalah bukti keabsahan
nilai dari guru. Tanpa paraf itu, berarti nilai tidak ada artinya, sekalipun
angka 100 tertera di sana.
Sebenarnya saya tidak berminat menggunakan buku tulis. Raihan
dan Riza adalah beberapa anak binaan saya. Masih ada Safwan, Ifa, Via, Dina,
Syams, Qori, Putri, Ulfa, Ibn Mas’ud, Ifan, Anda, dan Yoga. Semuanya masih SD,
kelas 4-6 SD. Mereka anak-anak yatim yang tinggal di Darul Aitam, sebuah panti
asuhan.
Sejak diminta membina sebulan lalu, ini sudah pertemuan
keempat. Setiap minggu satu kali pertemuan. Melihat perilaku mereka di Masjid
minggu lalu, saya terpikir membahas Adab di Masjid hari ini. Buku tulis saya
gunakan karena salah satu pembina mereka bertanya apakah saya memakai buku atau
tidak.
Saya tidak pernah terpikir mereka akan seperti bersekolah,
memakai buku tulis sebagai catatan apa yang mereka dengar. Setelah pertemuan
hari ini, saya semakin yakin dengan itu. Sejak awal anak-anak merayu agar tidak
menggunakan buku tulis. Yoga beralasan penanya hilang lalu beralasan dia tidak
bisa menulis. Syams beralasan dia akan potong rambut sehingga minta cepat-cepat
diselesaikan. Sementara anak-anak perempuan jauh lebih antusias dari mereka.
Di awal pertemuan, saya mengajak mereka berdiskusi tentang
masjid. Saya mengajukan beberapa pertanyaan:
- Apa masjid pertama yang
didirikan rasulullah Muhammad SAW?
- Apa arti Masjid?
- Apa fungsi masjid?
Sejauh diskusi berjalan, anak-anak cukup antusias mencari
tahu. Saya menyangka saya sudah bisa mengosentrasikan mereka ke topik. Rupanya,
tidak. Setelah diskusi singkat kami, saya bagi mereka ke dalam kelompok kecil.
Niatnya mencampur anak perempuan dengan laki-laki. Entah apa alasannya,
anak-anak menolak. Akhirnya tidak saya campur.
Saya menugaskan mereka mencari tahu apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan di dalam masjid. Secara berkelompok, silahkan bertanya kepada
ustadz-ustadzah pembina mereka, atau siapa saja. Anak laki-laki tidak soal
dengan tugas, tapi mencari-cari alasan agar tidak menulis. Setelah itu
terjadilah apa yang saya sebutkan di awal tadi. Padahal saya ingin agar mereka
mencari tahu lalu kita diskusikan bersama.
Hal lain yang mendapat perhatian saya, anak-anak berkelompok
tapi bekerja sendiri-sendiri. Dari empat kelompok dari 12 orang, hanya satu
kelompok yang mencari bersama.
Untuk keempat kalinya, saya masih gagal menjaga antusiasme
anak-anak hingga akhir pertemuan. Setelah tugas mereka dinilai, beberapa orang
pergi dan tidak kembali. Alasannya bermain bola dan memangkas rambut. Yang
tersisa Dina, Ifa, Via, dan Putri mengobrol dengan saya. Entah bagaimana, saya
lebih mudah mengobrol dengan anak-anak daripada orang dewasa. Sekali mereka
diberi kesempatan berbicara, mereka tidak akan berhenti.
Keempat gadis cilik ini menceritakan film-film yang mereka
tonton tadi malam sehingga mereka tidak tidur hingga jam tiga pagi. Lalu mereka
mengajak saya menonton film saat itu juga. Saya bilang tidak ada laptop.
Saya lihat Ifa sedang menulis dengan tangan kirinya. Saya
bertanya,”Ifa nulis pakai tangan kiri, ya?” Dia tidak menjawab. Aneh. Padahal
dari tadi dia termasuk yang paling antusias berkomunikasi dengan saya. Via
berbisik kepada saya,”lagi ngambek, kak.”
Ngambek, sejak kapan dia ngambek? Saya sama sekali tidak
sadar dengan perubahannya suasana hatinya itu. Via menambahkan, karena tadi dia
mengatakan ‘kak Ifa suka ngences kalo tidur’. Saya teringat, ungkapan itu
memang diucapkan ifa, saya ia mengomentari perkataan saya,”Boleh tidur di
masjid, asal...”
Dari postur tubuhnya saya menduga dia lebih tua dari
anak-anak lainnya. Dia lebih tinggi dan tubuhnya lebih berisi dari anak-anak
perempuan lainnya. Dia juga dipanggil, kak. Tidak tahu bagaimana harus
dihadapi, sekaligus tidak percaya kalau dia ngambek, saya diamkan saja. Saya
mencoba berkomunikasi kembali. Dia masih tidak menjawab, malah membalikkan
badan. Hingga saya pulang lima belas menit kemudian, dia masih saja tidak
membalas sapaan saya. Saya akhirnya pulang dengan sedikit rasa bersalah karena
tidak dapat meredakan mood buruknya.
Saya membuat catatan-catatan kecil evaluasi respon
anak-anak. Selain masalah nilai. Masalah lain, kerja sama, bully,
meremehkan orang lain. Saya merasa perlu memperlambat proses pengondisian
mereka, berfokus pada hal-hal menyenangkan tapi efektif mengatasi persoalan
hubungan sosial mereka, tantangan yang belum saya temukan jalan keluarnya.
Masalah nilai itu yang paling menggelayuti pikiran saya.
Saya diposisikan sebagai guru oleh mereka. Tentu saja guru dalam perspektif
pendidikan tradisional. Kata dan nilai saya seolah mutlak. Apakah memang harus
dinilai? Ini berhubungan dengan masalah kerja sama tersebut. Sebelumnya
anak-anak mengatakan hal-hal yang menunjukkan sikap berkompetisi. Seolah siapa
yang lebih cepat selesai dan lebih bagus nilainya, lebih baik dari yang lain.
Apalah arti nilai itu. Saya tidak menyalahkan anak-anak. Itu
logika nilai lebih tinggi lebih baik begitu menyerap dalam pikiran peserta
didik. Jangankan siswa, mahasiswa pun berpikiran serupa. Terlepas mereka paham
atau tidak, jika IPK tinggi itu sudah baik. Nilai menjadi legitimasi ketuntasan
belajar, sehingga mereka menyangka mereka sudah memahami mata pelajaran yang
diberikan. Nilai menjadi puncak keberhasilan belajar. Semakin tinggi nilai,
semakin dianggap berhasil anak di dalam belajar.
Padahal, tidak. Nilai tidak menjadi satu-satunya bukti
ketuntasan belajar. Paling tidak dalam pandangan saya, ketuntasan belajar adalah
penerapan hasil belajar dalam situasi baru. Kalau belum mampu diterapkan,
berarti pembelajaran belum benar-benar tuntas.
Tadi malam, Bang Jakson, seorang warga, berkata pada
saya,”kuliah kau itu nggak ada gunanya nanti, Bayu. Sekarang sampai dua tahun
ke depan bolehlah kau tetap milih-milih pekerjaan yang sesuai kuliahmu. Habis
itu, kau sudah harus memikirkan penghidupan. Nggak bisa lagi bertahan sesuai
jurusan kalau gaji tidak memadai.”
Secara umum saya tidak sepakat, tapi ada benarnya juga
perkataan dia. Maksud saya, andaikata teori kuliah bersifat sedemikian praktis
dan lapangan kerja sesuai jurusan tersedia secara memadai dan dihargai dengan
‘layak’, tentu dia tidak perlu berkomentar seperti itu. Wajar saja. Dia
melanjutkan,”pendidikan kau itu, cuma ada empat gunanya. Pertama, menaikkan
status sosial. Kedua, untuk pajangan dinding. Ketiga, untuk undangan
pernikahan. Keempat, untuk melamar pekerjaan.” Di nomor empat dia menekankan,
asal punya ijazah kau akan lebih ditengok perusahaan, entah jurusan apa saja,
entah dia berguna atau tidak di dalam pekerjaan yang digeluti. Lagi pula,
katanya, “ilmu kau di kuliah tidak akan banyak berguna, sekalipun kau bekerja
di bidang sesuai jurusanmu.”
Lalu untuk apa pendidikan itu. Nanti, kalau sudah
berkeluarga, dia akan berguna. Begitulah kata bang Jakson. Wajar saja Bang
Jakson berpikir ijazah tidak berguna. Buktinya, berapa banyak sarjana bekerja
di luar jurusannya? Alasannya beragam, salah satu yang utama adalah karena
keterbatasan lapangan pekerjaan atau gaji di bidang sesuai jurusan lebih
rendah; apalagi untuk orang-orang lulusan sastra seperti saya.
Wajar pula bila anak-anak berpikir nilai adalah satu-satunya
yang bermanfaat bagi mereka. Orang dewasa belajar hanya bila ada manfaat
praktisnya untuk penghidupan. Anak-anak, yang umumnya tidak menghidupi sendiri,
tentu belum berpikir demikian. Itu ditambah lagi dengan penanaman nilai bahwa
nilai, pengakuan guru, ijazah adalah puncak keberhasilan pendidikannya.
Tapi mari kita pikir ulang, bukankah pikiran bang Jakson
dengan anak-anak tersebut bertentangan? Di satu sisi hal-hal formalistik
seperti nilai dan ijazah begitu diagungkan di pendidikan formal. Sampai-sampai
orang yang berada di pendidikan informal seperti saya terkena imbasnya. Apapun
perlu dinilai oleh guru. Itu belum lagi kita tambah betapa melangitnya teori-teori
yang kita pelajari di ruang kelas. Dan kita bangga. Di sisi lain, segera
setelah kebutuhan hidup mendesak, kita mulai menyadari, sebagaimana bang
Jakson: ilmu, ijazah, dan nilai tinggi yang kau dapatkan dulu tidak memastikan
kualifikasi dalam menghadapi dunia nyata. Buktinya, adik saya yang hanya
tamatan SMK Pertanian sekarang menjadi karyawan pemadam kebakaran dengan gaji
lima juta rupiah perbulan.
Terlepas perlu tidaknya nilai diberikan, yang jelas
kesinambungan antara pendidikan dan pekerjaan, gagasan dan tindakan, seolah
kurang diperhatikan. Tidak heran jika muncul kaum pemikir pendewa teori atau
kaum pekerja dengan prinsip talk less do more. Padahal, menurut saya,
keduanya tidak perlu bertentangan, mampu dan perlu berintegrasi, jika kita
mengubah cara pandang mengenai hubungan keduanya mengikuti gagasan ‘ilmu
amaliah-amal ilmiah’ atau praksis.