Rss Feed
  1. April Mop buat Mahasiswa

    Wednesday, April 3, 2013





    Mahasiswa takut pada dosen
    Dosen takut pada dekan
    Dekan takut pada rektor
    Rektor takut pada menteri
    Menteri takut pada presiden
    Presiden takut pada mahasiswa.


     (Takut 66, Takut 98-Taufik Ismail)

    Sewaktu aku masih di SMA, aku pernah beberapa kali bermain April Mop. Dahulu aku tidak tahu itu tradisi darimana, dan apa pentingnya April Mop itu. Tidak banyak juga yang mengetahuinya, tapi beberapa melakukannya, termasuk aku. Terlalu banyak hal yang dilakukan ketika remaja karena 2 alasan utama: karena orang lain melakukannya dan karena itu seru. Remaja merayakan valentine karena seru, bermain April Mop karena seru, dan sebagainya-dan sebagainya. 

    Ketika April Mop, kami bersaing untuk membuat orang percaya dengan kebohongan yang kami sampaikan kepada mereka. Biasa berupa ancaman-ancaman yang membuat orang lain takut. Ketika seseorang, misalnya aku berhasil mengancam orang lain, aku akan berkata,”April Mop!”.  Aku berusaha mengais-ngais ingatan, barangkali masih ada satu peristiwa yang masih aku ingat mengenai April Mop itu. Sayang, aku tidak menemukannya. Yang pasti masih kuingat adalah kata Mop adalah kata yang sering kami gunakan untuk mengacu kepada ancaman terhadap orang lain.

    Sudah bertahun-tahun aku tidak lagi bermain-main April Mop itu. Aku bahkan tidak ingat kalau yang namanya April mop itu ada. Aku sudah menganggap hal-hal semacam itu tidak penting. Aku juga tidak tahu apakah masih banyak orang yang bermain April Mop. Tiba-tiba membaca sebuah tulisan yang kalau tidak salah ingat seperti ini,”setiap hari adalah April Mop, karena kita ditipu oleh pemerintah dan media setiap hari.” Dalam hati, benar juga. Setelah membaca tulisan itu, setelah aku melewati hari kedua ku di bulan April ini, setelah aku mengingat apa yang terjadi di bulan Maret dan bulan-bulan sebelumnya, barangkali tema untuk bulan ini adalah “mop”.  Atau “move?”. Whateverlah, ancaman akan memancing orang untuk membuat gerakan. Setidaknya seharusnya begitu.

    Mop atau move? Itu yang kupikirkan ketika aku berada di kelas kemarin. Saat itu aku sedang mengikuti kelas yang paling kuhindari selama ini. Aku menghindarinya karena dosen pengampu mata kuliah ini suka berbicara sesuka hatinya saja di dalam kelas dan tidak toleran. Seandainya tidak karena waktu hidupku di kampus semakin pendek, aku akan menunggu hingga dia tidak lagi mengajar mata kuliah tersebut. Namun setelah aku mengikuti kelas dia, menurutku dia telah banyak berubah. Seperti dosen-dosen lainnya yang dulu kuhindari (kecuali satu, yang kemarin betul-betul membuat aku kesal). Bicara lebih lembut, lebih terjaga, lebih hangat, dan lebih toleran. Aku pikir aku mulai menyukainya. Aku hampir-hampir tidak ingin melewatkan satu kata pun dari apa yang ia ungkapkan. 

    Dalam sebuah kesempatan di dalam kelas kemarin, dia sedang menyinggung soal sasaran dakwah. Salah satu sasaran dakwah adalah DPR dan Pemerintah. Dia berbicara tentang bagaimana busuknya kebanyakan petinggi pemerintahan di Negara ini. Dia bilang dia sudah tidak percaya lagi kepada orang-orang itu. Dia mengutip sebuah hadits tentang perlunya mengingatkan pemerintah ketika mereka salah. Dia bercerita tentang bagaimana dia dahulu berdemonstrasi mengkritis kebijakan-kebijakan tertentu. Dan akhirnya sembari menyitir sebuah puisi Taufik Ismail yang kukutip diatas (yang dia ungkapkan secara tidak tepat), dia berharap kepada mahasiswa.

    Aku tersenyum, dan mulai berkata-kata dalam hati. Aku membenarkan apapun yang dia katakan. berbagai berita yang muncul di televisi dan koran, seolah-oleh memang dimaksudkan untuk bermain tipu-tipuan. Bagiku, seluruh cerita dosen seharusnya itu jadi mop kepada mahasiswa. tipuan-tipuan, lelucon-lelucon itu bukan sekedar lelucon atau tipuan agar kita tertawa, tapi seharusnya ancaman bagi mahasiswa. Tapi aku meragukan harapan dia terhadap mahasiswa. Apa yang terjadi pada mahasiswa saat ini? Bagaimana mungkin dia masih percaya kepada mahasiswa, bila melihat kondisi mahasiswa sekarang yang suka sekali mengandang di dalam kelas, kos, dan kantin, seolah-olah apapun yang terjadi di luar itu bukan urusan mereka? 

    Dahulu mungkin benar, mahasiswa adalah ancaman bagi pemerintah. Sekarang? Apakah ide semacam itu masih dapat dipertahankan. Dari sudut pandang ideal, aku masih percaya. Sekalipun banyak sekali aktifis mahasiswa yang mulai tergoda dengan dunia politik, mahasiswa masih relatif bebas dari kepentingan politik. Mahasiswa melakukan sesuatu karena dia ingin melakukannya. Kebanyakan mereka masih mengikuti nuraninya. Secara factual, aku tidak yakin. Hadirnya internet ke dalam kehidupan sehari-hari kita, perkembangan teknologi yang pesat, sehingga segalanya menjadi mudah, membuat kita mudah tenggelam kehidupan yang individualistik plus manja. Dengan biaya kuliah yang mahalnya minta ampun, kebanyakan mahasiswa berasal dari golongan menengah yang tidak pernah merasakan ketegangan ekonomi dan politik. Aktifitas akademik yang padat serta presensi 75% membuat mahasiswa berpikir berkali-kali untuk meninggalkan kuliah. Seolah-olah mahasiswa dikekang secara sistemik sehingga dia tidak dapat lagi berpikir tentang kondisi di luar kehidupannya, apalagi kondisi bangsanya sendiri. 

    Bukankah itu ancaman yang begitu nyata? Kebebasan berpolitik mahasiswa semakin terbungkam dengan rayuan-rayuan dari berbagai golongan kepentingan, termasuk partai politik. Belum lagi isu-isu yang bergulir begitu cepat berubah seperti perputaran uang di meja judi. Barangkali benar pemerintah dan media memang sedang bermain “April Mop” dengan masyarakat, khususnya masyarakat mahasiswa. Dan sekarang kondisinya pemerintah dan media berhasil me-mop mereka. Pertanyaannya kapan mahasiswa sadar kalau mereka sedang di-mop?






  2. 0 comments:

    Post a Comment