Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.
(Takut 66, Takut 98-Taufik Ismail)
Sewaktu aku masih di SMA, aku
pernah beberapa kali bermain April Mop. Dahulu aku tidak tahu itu tradisi
darimana, dan apa pentingnya April Mop itu. Tidak banyak juga yang
mengetahuinya, tapi beberapa melakukannya, termasuk aku. Terlalu banyak hal
yang dilakukan ketika remaja karena 2 alasan utama: karena orang lain
melakukannya dan karena itu seru. Remaja merayakan valentine karena seru,
bermain April Mop karena seru, dan sebagainya-dan sebagainya.
Ketika April Mop, kami bersaing
untuk membuat orang percaya dengan kebohongan yang kami sampaikan kepada
mereka. Biasa berupa ancaman-ancaman yang membuat orang lain takut. Ketika seseorang,
misalnya aku berhasil mengancam orang lain, aku akan berkata,”April Mop!”. Aku berusaha mengais-ngais ingatan, barangkali
masih ada satu peristiwa yang masih aku ingat mengenai April Mop itu. Sayang,
aku tidak menemukannya. Yang pasti masih kuingat adalah kata Mop adalah kata
yang sering kami gunakan untuk mengacu kepada ancaman terhadap orang lain.
Sudah bertahun-tahun aku tidak
lagi bermain-main April Mop itu. Aku bahkan tidak ingat kalau yang namanya
April mop itu ada. Aku sudah menganggap hal-hal semacam itu tidak penting. Aku juga tidak tahu apakah masih banyak orang yang bermain April Mop. Tiba-tiba membaca sebuah tulisan yang kalau tidak salah
ingat seperti ini,”setiap hari adalah April Mop, karena kita ditipu oleh
pemerintah dan media setiap hari.” Dalam hati, benar juga. Setelah membaca
tulisan itu, setelah aku melewati hari kedua ku di bulan April ini, setelah aku
mengingat apa yang terjadi di bulan Maret dan bulan-bulan sebelumnya,
barangkali tema untuk bulan ini adalah “mop”.
Atau “move?”. Whateverlah, ancaman akan memancing orang untuk membuat
gerakan. Setidaknya seharusnya begitu.
Mop atau move? Itu yang
kupikirkan ketika aku berada di kelas kemarin. Saat itu aku sedang mengikuti
kelas yang paling kuhindari selama ini. Aku menghindarinya karena dosen
pengampu mata kuliah ini suka berbicara sesuka hatinya saja di dalam kelas dan
tidak toleran. Seandainya tidak karena waktu hidupku di kampus semakin pendek,
aku akan menunggu hingga dia tidak lagi mengajar mata kuliah tersebut. Namun setelah
aku mengikuti kelas dia, menurutku dia telah banyak berubah. Seperti dosen-dosen
lainnya yang dulu kuhindari (kecuali satu, yang kemarin betul-betul membuat aku
kesal). Bicara lebih lembut, lebih terjaga, lebih hangat, dan lebih toleran. Aku
pikir aku mulai menyukainya. Aku hampir-hampir tidak ingin melewatkan satu kata
pun dari apa yang ia ungkapkan.
Dalam sebuah kesempatan di dalam
kelas kemarin, dia sedang menyinggung soal sasaran dakwah. Salah satu sasaran
dakwah adalah DPR dan Pemerintah. Dia berbicara tentang bagaimana busuknya
kebanyakan petinggi pemerintahan di Negara ini. Dia bilang dia sudah tidak
percaya lagi kepada orang-orang itu. Dia mengutip sebuah hadits tentang
perlunya mengingatkan pemerintah ketika mereka salah. Dia bercerita tentang
bagaimana dia dahulu berdemonstrasi mengkritis kebijakan-kebijakan tertentu. Dan
akhirnya sembari menyitir sebuah puisi Taufik Ismail yang kukutip diatas (yang dia ungkapkan secara
tidak tepat), dia berharap kepada mahasiswa.
Aku tersenyum, dan mulai
berkata-kata dalam hati. Aku membenarkan apapun yang dia katakan. berbagai berita yang muncul di televisi dan koran, seolah-oleh memang dimaksudkan untuk bermain tipu-tipuan. Bagiku, seluruh
cerita dosen seharusnya itu jadi mop
kepada mahasiswa. tipuan-tipuan, lelucon-lelucon itu bukan sekedar lelucon atau tipuan agar kita tertawa, tapi seharusnya ancaman bagi mahasiswa. Tapi aku
meragukan harapan dia terhadap mahasiswa. Apa yang terjadi pada mahasiswa saat
ini? Bagaimana mungkin dia masih percaya kepada mahasiswa, bila melihat kondisi
mahasiswa sekarang yang suka sekali mengandang di dalam kelas, kos, dan kantin,
seolah-olah apapun yang terjadi di luar itu bukan urusan mereka?
Dahulu mungkin benar, mahasiswa
adalah ancaman bagi pemerintah. Sekarang? Apakah ide semacam itu masih dapat
dipertahankan. Dari sudut pandang ideal, aku masih percaya. Sekalipun banyak
sekali aktifis mahasiswa yang mulai tergoda dengan dunia politik, mahasiswa
masih relatif bebas dari kepentingan politik. Mahasiswa melakukan sesuatu
karena dia ingin melakukannya. Kebanyakan mereka masih mengikuti nuraninya. Secara
factual, aku tidak yakin. Hadirnya internet ke dalam kehidupan sehari-hari
kita, perkembangan teknologi yang pesat, sehingga segalanya menjadi mudah,
membuat kita mudah tenggelam kehidupan yang individualistik plus manja. Dengan biaya
kuliah yang mahalnya minta ampun, kebanyakan mahasiswa berasal dari golongan menengah
yang tidak pernah merasakan ketegangan ekonomi dan politik. Aktifitas akademik
yang padat serta presensi 75% membuat mahasiswa berpikir berkali-kali untuk
meninggalkan kuliah. Seolah-olah mahasiswa dikekang secara sistemik sehingga
dia tidak dapat lagi berpikir tentang kondisi di luar kehidupannya, apalagi
kondisi bangsanya sendiri.
Bukankah itu ancaman yang begitu
nyata? Kebebasan berpolitik mahasiswa semakin terbungkam dengan rayuan-rayuan
dari berbagai golongan kepentingan, termasuk partai politik. Belum lagi isu-isu
yang bergulir begitu cepat berubah seperti perputaran uang di meja judi. Barangkali
benar pemerintah dan media memang sedang bermain “April Mop” dengan masyarakat,
khususnya masyarakat mahasiswa. Dan sekarang kondisinya pemerintah dan media
berhasil me-mop mereka. Pertanyaannya kapan mahasiswa sadar kalau mereka sedang di-mop?
0 comments:
Post a Comment