-
Rasanya Tak Perlu Berjudul
Thursday, August 2, 2018
Saya baru saja mereorganisasi jadwal mingguan dan bulanan. Menulis sebagai salah satu kegiatan rutin yang harus dilakukan kembali, setiap hari. Hampir setahun mandek, tidak dapat menulis. Hanya ada potongan-potongan paragraf di puluhan file Word, yang bahkan tidak berhubungan satu sama lain.Inilah titik terendah. Pikiran benar-benar kosong. Bermenit-menit menatapi layar komputer tanpa sedikit pun menekan tombol keyboard.Ini kali ke sekian saya bertekad: kali ini harus jadi satu tulisan. Mari lihat apakah pikiran kosong ini bisa berbuah ilham seperti bulan memasangkan laut hingga meluap ke darat atau seperti patahan tektonik yang memicu tsunami.Lebay. Hanya sedang mencari jalur alir di celah-celah sempit gua pikiran yang lama tak disinari bacaan-bacaan segar.Lebay lagi. Sudahlah. Jalur komunikasi sedang dibangun. Satu bagian diri menginisiasi pembicaraan, mencoba bernegosiasi, mencoba berdialog, perlahan menepuk-nepuk keping-keping pengetahuan di setiap sel saraf. Begitu pulas kau, nak. Pengetahuan yang kulahirkan dari pengalaman dan rasa haus yang berlebihan.Atau biarkan saja mereka tertidur...Bagaimana bila aku buat keributan di sini? Tapi nanti mereka marah. Mereka akan menarik-narik sarafku hingga keningku sangat panas. Aku semakin botak. Setiap hari ada saja helai yang hilang, ada saja helai yang memutih. Aku pernah mengalami mimpi buruk itu bertahun-tahun.Sepertinya sudah ada bagian diri lain yang terbangun. Si “Saya” tiba-tiba berganti menjadi “Aku”. Lalu siapa yang sedang bernarasi saat ini, siapa pengamat ini? Ah diri yang multidimensi, atau multipolar? Tak soal. Saya, aku, dan pengamat masih dalam titik aman kewarasan.Siapa lagi yang baru saja berpendapat?Apakah kesadaran itu tunggal?Siapa lagi yang bertanya?Stop!!!***Barangkali ini efek selepas membaca kumpulan cerpen Jorge Luis Borges. Sebuah buku langka keluaran LKiS bertitel “Labirin Impian”. Saya (kami telah bersepakat untuk menyerahkan kepada ‘Saya’ untuk menampilkan diri ke publik) pernah membaca buku itu bertahun lalu, dan tahap paham sebagian besar isinya.Sejak dipinjam dua hari lalu, saya baru menyelesaikan (lagi) satu cerpen. Kali ini baru saya mengerti alurnya. Seperti labirin ia mengambil jalur sesukanya dan menjebak di sana-sini. Seperti impian, ia menggabungkan informasi sesuka hatinya. Ia bercerita soal cermin lalu menghubungkannya dengan sanggama, tiba-tiba memunculkan Uqbar, dan di bagian lain seenaknya mengganti fokus menjadi Tlon dan Orbit Tertius. Dia memunculkan kesan, seolah-olah dia (Borges) sebagai pengarang sebenarnya sedang bercerita dengan nuansa ilmiah, sebuah negeri (atau planet) fiksi yang menyusup ke dunia nyata.Saya berkali-kali harus kembali ke awal bacaan untuk memastikan apakah yang tersebut kemudian telah direferensikan sebelumnya. Setelah melalui pengulangan cukup banyak, sedikit banyak akhirnya tertangkap pula logika cerita. Borges sedang bercerita tentang ambisi sekelompok ilmuwan untuk menciptakan sebuah dunia ideal dengan segala aspeknya yang purna. Dunia yang hanya nyata di dalam ensiklopedi puluhan jilid, namun kemudian mampu membuat semua orang membicarakannya, menjadikannya seolah-olah nyata. Pada akhirnya, kata Borges,“Maka bahasa Inggris, Prancis, dan (apalagi) Spanyol, dan seterusnya akan lenyap dari permukaan Bumi. Dunia akan menjadi Tlon”Dan dia mengakhiri ‘esai fiksi ilmiah’-nya secara tak bertanggung jawab “Saya tidak peduli dengan semua ini dan akan melanjutkan, di hari-hari tenteram di Hotel Adrogue, dalam gaya bahasa zaman Quevedo, sebuah karya Sir Thomas Browne, Urn Burial.”***Mari saya tinggalkan Borges. Saya ajak pula pembaca meninggalkannya (jika kebetulan ada yang sedang membaca tulisan ini). Masih ada lapisan labirin lain yang perlu diselesaikan, semakin menyesatkan. Untuk itu, biarlah saya saja yang berkorban menyelesaikannya. Suatu saat akan saya bagi jalan keluarnya bila sempat.Sepertinya pikiran saya sudah semakin harmonis, semakin menemukan ritmenya. Menarik bila saya melanjut ke satu topik, tapi sudah jam 2 pagi. Saya perlu tidur, mematuhi jadwal yang sudah saya langgar selama dua jam.Tujuan saya hanya ingin menyelesaikan tulisan ini. Setelah puluhan kali percobaan, akhirnya selesai. Soal makna, entahlah. Yang terpenting saya merasa selesai. Suatu saat ini bisa jadi memento sebagai pengenang upaya saya bangkit dari keterpurukan. Alah...***Ini bagian terakhir. Saya berjanji. Saya harus tidur. Segera.Kemarin siang saya bertemu seorang teman karib. Pertemuan pertama setelah setengah tahun lebih. Kami berdiskusi soal topik yang sama disukai: pendidikan. Tentang arah perubahan yang lebih baik dalam kurikulum pendidikan nasional. Kami sama sepakat merayakan keberadaan Kurikulum 2013. (Walau dengan pengetahuan yang seadanya).Itu hanya satu topik diskusi kami. Dalam pembicaraan utara-selatan itu, kami sempat berbicara soal lompatan pengetahuan atau apalah istilahnya. Saya menyebutnya lompatan pengetahuan, sebab terjadi perubahan tiba-tiba dari tidak tahu menjadi tahu selama proses belajar. Teman saya menyebutkan, saat ini dia sudah mulai terbiasa dengan teks Bahasa Inggris, sudah mulai mudah menerjemahkan. Saat pertama kali serius mempelajari Bahasa Inggris, dia merasa sama sekali tidak paham dengan apapun yang dia baca. Itu terjadi dalam selama beberapa waktu. Setelah itu dia berhenti belajar. Rentangnya hingga tahunan sampai dia ke kondisi sekarang.Barangkali ada hubungannya dengan pembiasaan dan tingkat stres. Pikiran yang telah terbiasa dengan hal baru akan berfungsi maksimal dalam keadaan rileks ketika kita berusaha memahami kembali sesuatu yang baru itu. Itu terjadi pula ketika saya membaca Cerpen Borges tadi.Saya tidak ingin berspekulasi lebih jauh. Perlu bacaan lebih lanjut. Bersyukur bila nanti akan terbersit untuk menulis khusus tentang ini. Sekarang, waktunya tidur.Posted by lain-lain at 2:39 AM | Labels: embuh | 1 comments | Email This BlogThis! Share to X Share to Facebook |